Sunday, December 11, 2005

 

Boleh Dibantu Asal Setor Dulu

* Teten: Pola Baru Korupsi Pendidikan

JL SETIABUDHI-Sulit benar memberantas korupsi di Indonesia. Buktinya, mesti sistem politik telah berubah toh korupsi tetap ada. Pun dalam dalam dunia pendidikan. Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki menengarai telah terjadi peralihan pola korupsi di dunia pendidikan.
Ditemui usai berbicara pada temu alumni nasional lintas generasi Forum Keluarga Alumni (FKA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Sabtu (10/12), Teten mengatakan saat ini korupsi lebih menyebar. Bila dulu korupsi berwujud penyunatan anggaran, kini sebaliknya, si penerima harus setor kepada birokrat pendidikan. Dengan begitu, sepintas tidak tampak adanya praktik korupsi dalam aliran dana tersebut.
"Sekarang terjadi fragmented corruption, korupsinya tersebar sekaligus berjamaah. Sekolah-sekolah yang menerima bantuan dari pemerintah pusat harus setor kepada Dinas Pendidikan. Ini terjadi karena sekolah tetap menjadi bagian dari subordinasi Dinas Pendidikan setempat," tandas Teten.
Alumni Pendidikan Kimia UPI ini mencontohkan, setiap muncul rencana pemberian bantuan dari pemerintah, Dinas Pendidikan selalu menyeleksi calon penerima. Nah, saat itulah "transaksi" terjadi. Dinas hanya meloloskan sekolah yang sudah terlebih dahulu menyetor fee illegal tadi.
Selain itu, di sekolah ada lagi pola korupsi yang berbeda. Kepala sekolah yang bersangkutan membuat anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) secara rangkap. Caranya, dana bantuan dari pemerintah dilaporkan secara terpisah. Hal yang sama juga dilakukan untuk penggunaan dana dari masyarakat.
Kondisi ini diperburuk dengan lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga stake holder berupa Komite Sekolah. Dalam pelaksanaannya, banyak komite hanya menjadi alat legitimasi anggaran yang dibuat pihak sekolah. Pemicunya, sejumlah komite sekolah dibentuk bukan untuk merepresentasikan kepentingan orang tua, tapi atas pertimbangan praktis.
"Di beberapa tempat banyak sekolah yang memilih kepala desa atau lurah mereka menjadi ketua komite sekolah. Maklum, hanya merekalah yang memilki kewenangan mengerakkan seluruh lapisan masyarakat. Ada lagi komite yang hanya berganti baju dari BP3 dulu," lanjut Teten yang siang itu tampil santai dengan batik lengan pendek ini.
Dalam konteks yang lebih luas, penerima penghargaan Ramon Magsaysay ini melihat perkembangan sistem politik saat ini cukup menggembirakan bagi pemberantasan korupsi. Indikasinya, desentralisasi pemerintahan mengakibatkan tingginya cost korupsi. Seseorang yang berniat melakukan korupsi mesti menimbang-nimbang besarnya angka yang harus dikeluarkan.
"Kalau dulu koruptor cukup bayar satu orang, Soeharto misalnya. Kini hal itu tidak berlaku lagi. Tidak bisa lagi keluar izin HPH (hak penguasaan hutan, red) untuk pengusaha tertentu. Kalau dia mau menyuap DPR, dia harus menghitung berapa banyak anggota dewan yang harus disuap. Begitu pun kalau dia akan menyuap auditor. Sekarang banyak lembaga pemantau korupsi. Jadi, kalau yang satu diam masih ada yang lain," paparnya lagi.
Contoh lainnya, saat seorang anggota dewan menerima suap dan anggota lainnya tidak, maka dia akan rugi. Setidaknya, dia akan mendapat sanksi sosial dari anggota lainnya. Kalau sudah begitu, ke depan, korupsi akan kehilangan manfaatnya.(njp)


DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan. Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun. Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?