Wednesday, October 19, 2005

 

Aktivis Pendidikan Tolak RUU Guru dan Dosen

JL GANECA-Sejumlah aktivis pendidikan menolak disahkannya rancangan undang undang (RUU) guru dan dosen yang disetujui DPR RI 27 September lalu. Mereka menilai, RUU tersebut tidak menjawab permasalahan tenaga kependidikan secara menyeluruh. Lebih dari itu, rancangan tersebut hanya mencerminkan kepentingan salah satu kelompok semata.

Wacana penolakan itu mengemuka dalam sebuah diskusi terbuka yang digelar Forum Diskusi Pendidikan Bandung di GSG Salman ITB, Jalan Ganeca, kemarin. Diskusi yang dihadiri sejumlah praktisi pendidikan ini menilai RUU yang diusung Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu terlalu tergesa-gesa. Akibatnya, RUU banyak bertentangan dengan regulasi pendidikan lainnya.

Secara substansi, pemberian gaji guru sebanyak tiga kali lipat dibandingkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dianggap tidak adil. Terutama bila melihat performance guru yang tidak merata. Secara prinsip, mereka sepakat manakala profesionalisme guru dihargai secara proporsional. Namun, profesionalisme tidak serta merta bisa diwujudkan dengan kenaikkan gaji.

Bila RUU tersebut tetap diundangkan akhir bulan depan, para penggiat pendidikan ini khawatir akan terjadinya gejolak sosial. Ini menyangkut perbedaan yang cukup mencolok antara gaji guru dengan PNS lainnya. Mengacu pada RUU tersebut, guru berhak mendapat gaji tiga kali lipat dibandingkan dengan gaji PNS lainnya. Akibatnya, undang-undang ini berpotensi melahirkan kecemburuan bagi PNS nonguru.

“Banyangkan oleh anda. Gaji guru akan lebih besar dari gaji Kepala Dinas Pendidikan misalnya. Bagaimana jadinya? Jelas, di sini terjadi ketimpangan. Saya memprakirakan akan terjadi migrasi besar-besaran di antara PNS untuk beralih profesi menjadi guru. Lalu, dari mana pemerintah menyediakan anggaran gaji guru sebanyak itu?,” ujar Eko Purwono, aktivis Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (MP2I), saat ditemui Radar usai diskusi.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengaku tidak bisa membayangkan bila kemudian muncul gejolak yang timbul dari kalangan guru sendiri. Pemicunya, guru meminta gaji sesuai undang-undang, sementara pemerintah tidak sanggup menyediakannya. Eko mencontohkan, pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung tidak lebih dari Rp 1 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 persen di antaranya merupakan gaji guru.

“Kalau gaji guru dinaikkan menjadi tiga kali lipat, bagaimana pemerintah kota mengurus masalah sampah, kependudukan, transportasi, dan sektor publik lainnya. Pokoknya, kami melihat masih banyak terdapat kekurangan dari RUU tersebut. Karena itu, kami mendesak agar RUU tersebut ditunda,” tandas Eko.

Di bagian lain, Eko juga menilai, RUU tersebut terbilang ketinggalan dibandingkan dengan perundangan terbaru. Dia mencontohkan, RUU tersebut tidak mencantumkan adanya guru bantu dan guru sukarelawan misalnya. Padahal, UU Sikdiknas yang telah diterbitkan sebelumnya mengemukakan hal itu.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
Comments: Post a Comment

<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?