Tuesday, October 18, 2005

 

Korupsi di Sekolah Sulit Diberantas

KIDANG PANANJUNG-Masalah korupsi seakan menjadi penyakit dalam mentalitas orang Indonesia. Begitu salah satu simpulan diskusi tentang korupsi dalam dunia pendidikan yang digagas Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung di sekretariat BIGS, Jalan Kidang Pananjung 5A, beberapa waktu ke belakang.

Diskusi yang dihadiri sejumlah aktivis pendidikan ini juga mengungkap beberapa bentuk korupsi yang terjadi di persekolahan. Yakni, pungutan-pungutan tidak sah, pungutan sah tetapi tidak melalui mekanisme yang sah, korupsi yang dilakukan oleh oknum sekolah, dan bentuk penyuapan yang dilakukan masyarakat.

Pungutan tidak sah sendiri mencakup tiga hal. Modusnya berupa pungutan yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua siswa, pungutan yang ”disetujui” orang tua siswa tetapi melalu mekanisme kesepakatan yang tidak sah, dan adanya pungutan yang disetujui oleh orang tua dan melalui mekanisme yang sah tetapi bertentangan dengan peraturan pemerintah.

Modus kedua, korupsi yang dilakukan oleh oknum sekolah mencakup penggelapan uang negara dan dana masyarakat, pemalsuan bukti-bukti pembelian barang, dan penyuapan atasan. Penyapan biasa dilakukan untuk memuluskan proyek atau dana bantuan pendidikan. Ada juga penyuapan untuk memperoleh jabatan atau posisi yang lebih tinggi.

Nah, modus yang dilakukan orang tua dimaksukdan untuk biasanya dilakukan bekerjasama dengan oknum kepala sekolah, guru, tata usaha atau pengurus komite sekolah. “Mereka berupaya mamasukan anaknya dengan kriteria yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ada juga yang menginginkan nilai yang tinggi dalam buku rapor dan ijazah. Selain itu, suap dilakukan untuk mendapatkan proyek kerjasama memasukan barang atau kegiatan dengan sekolah.

Di sisi lain, penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan setidaknya lima hal yang melatar belakangi terjadinya korupsi di sekolah. Pertama, otoritas kepala sekolah yang terlalu besar. Otoritas ini kerap disalahgunakan oleh oknum kepala sekolah untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).

Kedua, korupsi juga dirorong lemahnya intstitusi pengawasan baik dari pengawas fungsional maupun dari pihak komite sekolah. Dengan begitu, terdapat peluang leluasa untuk menggunakan dana publik dan subsidi dari pemerintah. Bahkan, adanya bantuan luar negeri yang tidak terkontrol.

Ketiga, lemahnya sistem demokrasi di sekolah. Partisipasi guru dan masyarakat dalam berbagai kebijakan pendidikan di sekolah sangat terbatas. Keempat, minimnya fasilitas pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah. Sehingga, untuk keperluan operasional, sekolah lebih banyak membebankankan kepada masyarakat.
Hasil penelitian ICW menunjukkan, hanya 10 persen subsidi pemerintah untuk pelaksanaan operasional sekolah. Selebihnya dibebankan kepada masyarakat. Dan kelima, rendahnya kesejahteraan guru. Hal ini memunculkan sejumlah oknum guru yang menjadikan anak didiknya sebagai obyek untuk peningkatan kesejahteraannya.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
Comments: Post a Comment

<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?