Wednesday, November 30, 2005

 

Namanya RUU Guru Saja!

*Catatan Kritis Koalisi Pendidikan terhadap RUU Guru dan Dosen


BANDUNG-Kata guru sebenarnya sudah mencakup pengertian dosen di dalamnya. Dengan begitu, nama rancangan undang-undang (RUU) guru dan dosen cukup disebut sebagai RUU Guru, bukan RUU Guru dan Dosen. Hal ini dianggap sejalan dengan semangat kesetaraan dalam profesionalisme kependidikan yang tidak membedakan martabat guru dengan dosen.

Itulah salah satu catatan kritis yang disampaikan Koalisi Pendidikan menyoroti draft RUU Guru dan Dosen hasil pembahasan DPR RI pada 24 November lalu. Gabungan sejumlah organisasi yang peduli terhadap masalah-masalah pendidikan ini juga memberikan catatan kritis terhadap 11 aspek lain RUU itu.

Dalam keterangan persnya, Koordinator Humas Koalisi Pendidikan Iwan Hermawan mengungkapkan, RUU tersebut tetap mengandung beberapa pasal bermasalah. Padahal, sebelumnya telah mengalami beberapa kali perubahan sebagaimana terlihat dari keluaran draft RUU pada 27, 28, 29 September 2005, 12 Oktober 2005, 14, 22, 23, dan 24 November 2005.

Dianggap bermasalah, kata Iwan, karena masih tidak berpihak kepada guru. Dalam arti masih mengabaikan aspek pedagogis, ekonomis, dan politis guru yang penting. "Secara tegas kami mendorong agar RUU tersebut benar-benar berpihak pada guru dan menempatkan guru pada posisi yang bermartabat untuk memajukan pendidikan Indonesia," tegas Iwan.

Bagian mana saja yang dianggap bermaslah? Kepada Radar, guru SMA Negeri 9 Bandung ini menyebutkan, secara pedagogis, pasal 14 tentang hak guru tidak mencantumkan hak guru untuk terlibat dalam perancangan kurikulum dan penentuan kelulusan murid. Padahal, jika kita menghendaki pengembangan guru yang profesional, maka guru tidak boleh hanya diposisikan sebagai pelaksana dari hasil perencanaan yang top-down seperti yang terjadi selama ini.

Dengan kata lain, keterlibatan dalam perancangan kurikulum dan penentuan kelulusan murid merupakan bagian penting dari hak pedagogi guru profesional. Berangkat dari pemikiran itu, Koalisi mengusulkan penambahan butir pada pasal 14 ayat (1) menjadi, "Guru berhak terlibat dalam perancangan kurikulum dan berhak menentukan kelulusan murid."

Dalam ranah yang sama, butir-butir dalam Pasal 20 tentang kewajiban guru, kecuali butir (d) dan (j), dianggap sangat normatif dan cultural. Sehingga, tidak realistis jika diukur dengan dan diberi sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 73 ayat 4. Koalisi kemudian mengusulkan untuk memasukkan butir-butir tersebut sebagai penjelasan untuk Pasal 10 ayat (1) tentang kompetensi guru, yakni penjelasan tentang kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.

Sorotan yang sama juga dialamatkan pada butir-butir dalam pasal 57 tentang kewajiban dosen. Secara pegagogis, Koalisi menilai pasal 11 ayat 1 tentang sertifikat pendidik tidak membatasi dengan jelas persyaratan yang dimaksud.

"Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan kesimpangsiuran tentang kedudukan Akta IV yang selama ini sudah merupakan sertifikat guru. Karena itu, kami mengusulkan Akta IV itu disetarakan dengan sertifikat pendidik seperti yang dicantumkan dalam ayat tersebut," papar Iwan.

Itu bila dilihat dari sudut pandang pedagogis. Secara ekonomis, Koalisi meniai, pasal 19 tentang tunjangan fungsional guru tidak mencantumkan besaran standar minimal tunjangan fungsional guru. Dalam catatannya, Koalisi mengusulkan tunjangan fungsional itu setara dengan minimal 1 kali gaji pokok guru yang diangkat oleh pemerintah.

"Pencantuman yang eksplisit tersebut dapat menunjukkan komitmen RUU ini pada upaya peningkatan kesejahtraan guru. Hal yang sama juga berlaku untuk pasal 53 tentang tunjangan fungsional dosen," tambah Iwan yang juga Sekretaris Umum Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung ini.(njp)


DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan. Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

Sunday, November 27, 2005

 

Ya Guru, Ya Siswa

Susah Belajar Bahasa Inggris


JL SETIABUDHI-Belajar bahasa Inggris memang susah. Buktinya, sejumlah guru-guru yang tergabung dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris di Jabar mengeluhkan hal itu. Bila guru bingung menghadapi kemunculan sejumlah versi kurikulum, banyak siswa mengeluhkan metode belajar yang melelahkan.

Keluhan itu terungkap saat Prof Dr Nenden Sri Lengkanawati MPd mewawancarai sejumlah guru bahasa Inggris di Bandung Metropolis. Potret tadi kian nyata saat mantan Kepala Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu melakukan penelitian kecil tentang kompetensi guru bahasa Inggris belum lama ini. Hasilnya, Nenden menyimpulkan bahwa responden yang ditelitinya masuk dalam kategori kurang memadai.

Berbicara pada sidang pengukuhannya sebagai guru besar UPI pekan lalu, Nenden memaparkan, dari 38 responden yang diteliti, hasilnya menunjukkan hasil rata-rata 467. Angka tersebut menggunakan rentang skor dari 290 hingga 587. Nenden yang selalu tampil smart ini menambahkan, respondennya paling lemah dalam menyimak, yakni rata-rata responden hanya mampu menjawab 16 pertanyaan atau setara dengan 32 persen dari total soal sebanyak 50 butir.

Jawaban lebih baik didapat dari structure and written expression. Mereka mampu menjawab 26 soal atau setara dengan 65 persen. Sementara dalam reading comprehension, guru-guru yang diteliti Nenden ini mampu menjawab 29 pertanyaan atau 58,73 persen. Angka-angka tadi dianggap Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) ini jauh dari kompetensi yang diharapkan mampu mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).

Nah, untuk menjaring kompetensi guru dalam menulis, Nenden juga meminta kepada respondennya untuk menulis esei argumentatif. Metode ini dimaksudkan untuk menguji tingkat kemahiran menulis sekaligus kemampuan berpikir kritis. Bagaimana hasilnya? Lagi-lagi Nenden menyimpulkan bahwa guru-guru tersebut kurang memiliki kompetensi seperti yang diharapkan kurikulum.

“Kebanyakan dari esei yang mereka tulis memperlihatkan kemampuan yang sangat memprihatinkan. Para guru memiliki kelemahan dalam dalam aspek isi, organisasi, kosakata, gramatika, dan mekanik penulisan. Dalam aspek isi, tulisan mereka menunjukkan adanya keterbatasan pengetahuan. Sehingga, topik tidak dikembangkan secara baik,” ungkap Nenden.

Nenden juga kemudian menguraikan lebih jauh tentang masalah-masalah yang muncul dalam KBK Bahasa Inggris. Ternyata, kata dia, guru-guru yang sudah mendapatkan pelatihan khusus pun tetap sulit memahami KBK. Terutama bila dikaitkan dengan berubah-ubahnya konsep yang mendasari implementasinya.

“Pada tingkat implementasinya, para guru kebingungan karena munculnya konsep contextual teaching and learning (CTL) dan genre-based approach (GBA) sebagai alternatif dalam implementasi KBK. Beberapa guru mengatakan bahwa mereka sangat menikmati pengajaran dengan CTL. Akan tetapi, tiba-tiba muncul lagi pelatihan yang menyarankan untuk menggunakan GBA. Konsep kedua ini sarat dengan teori sehingga sulit dipahami oleh kebanyakan guru,” papar istri dari Deputi Pendidikan Kementerian Kesejahteraan Rakyat Prof Dr Fuad Abdul Hamied ini.

Itu masalah yang timbul pada guru. Sementara dari sudut pandang siswa, Nenden menemukan adanya siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar sangat melelahkan sekaligus memerlukan banyak dana. Kemunculan keluhan itu diakuinya sebagai cerminan karakteristik siswa Indonesia yang belum terbiasa bekerja keras. Bahkan, Nenden menyimpulkan bahwa perilaku kerja jeras itu masih harus dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

“Tidak heran bila dalam implementasi KBK ini dirasakan agak memberatkan bagi siswa yang kurang mampu. KBK mensyaratkan adanya kegiatan yang harus menggunakan materi otentik, seperti pergi ke lapangan untuk mewawancarai orang asing atau melihat daerah wisata,” lanjut Nenden yang siang itu membawakan pidato pengukuhan guru besar bertajuk “Profesionalisme Guru Bahasa dalam Konteks Sertifikasi Guru dan Eksistensi LPTK”.(njp)


DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita, dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan. Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?