Friday, June 17, 2005

 

Komisi X Minta Jawaban Tertulis dari Rektor UPI

# Terkait Susunan MWA dan Pemilihan Rektor

BANDUNG-Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) M. Fakry Gaffar menyampaikan jawaban secara tertulis atas pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka dalam dengar pendapat di Jakarta, Rabu (15/6). Komisi X juga meminta Rektor UPI menyertakan dokumen-dokumen tertulis terkait dengan pemilihan anggota Majelis Wali Amanat (MWA) dan proses pemilihan rektor di almamaternya.

"Kami menginginkan jawaban otentik mengenai perkembangan terbaru UPI setelah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara, red). Kami juga memiliki rekaman jalannya dialog," ungkap Toni Apriliani, anggota Komisi X DPR RI saat dihubungi Radar, kemarin. Pemanggilan rektor UPI, kata Toni, didasarkan pada sejumlah laporan yang diterimanya.

Kepada Radar Toni mengaku menerima kiriman surat dan pesan singkat ihwal terjadinya penyimpangan dalam pemilihan rektor UPI. Tema sentral yang mengemuka, kata Toni, mengenai tidak demokratisnya rangkaian pemilihan rektor di salah satu PT BHMN tersebut. Dia juga mengaku menerima laporan adanya ancaman pemecatan kepada sejumlah dosen yang menyuarakan nada kritis menyikapi kebijakan universitas.

Menurut Toni, permintaan jawaban tertulis juga terkait adanya pertanyaan yang tidak dijawab oleh rektor UPI. Yakni, pertanyaan seputar komposisi MWA. Rektor UPI, kata dia, tidak berhasil menjelaskan alasan dipilihnya satu anggota MWA dari unsur masyarakat. Toni tidak menyebutkan siapa unsur yang dimaksudnya tersebut.

"Dari empat PT BHMN pertama, tercatat hanya UGM yang bermasalah. Nah, penetapan dua BHMN berikutnya, UPI dan USU, semuanya bermasalah. Di USU, rektor yang terpilih merupakan rektor yang sebelumnya sudah menjabat selama tiga periode. Sementara di UPI, rangkaian pemilihan rektor dianggap sebagian kalangan tidak demokratis. Saya kira wajar, ada pro kontra. Terkait dengan dugaan tidak demokratisnya pemilhan anggota MWA-nya, kami meminta dokumen pemilihannya. Nanti akan terlihat, apakah pemilihan tersebut dilakukan secara demokrartis atau tidak," jelas Toni.

Menyinggung adanya surat dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kepada rektor UPI berisi permintaan untuk meninjau kembali komposisi MWA, Toni membenarkannya. Namun, Fakry bersikukuh mengatakan bahwa proses yang dilakukannya telah sesuai dengan dengan mekanisme yang telah ditentukan.

Selain menyoroti secara khusus pemilihan rektor, Komisi X juga meminta "progress report" seputar pembiayaan dan hal lain yang terkait di dalamnya. Toni mengungkapkan, pihaknya berkepentingan untuk mengetahui apakah peralihan status UPI menjadi BHMN telah sesuai dengan tujuan semula. Yakni implementasi otonomi perguruan tinggi.

"Kami bertanya apakah terjadi perkembangan iklim demokrasi di UPI atau tidak. Juga, terkait dengan kemandirian sebuah universitas BHMN. Apakah pembiayaan tersebut memberatkan mahasiswa atau tidak. Kepada kami rektor UPI menjelaskan pembiayaan universitas bersumber dari tiga saluran, yakni APBN, dana masyarakat, dan hasil usaha universitas," terang Toni.

Sementara itu, saat berusaha mengotak nomor telepon selular milik rektor UPI tidak berhasil tersambung. Jawaban operator menyiratkan nomor tersebut tidak aktif.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 17 Juni 2005]

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Ormawa UPI Gagal Temui Dirjen Dikti

# Sidang MWA Digelar di Jakarta

SETIABUDHI-Rencana pimpinan organisasi kemahasiswaan (Ormawa) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk bertemu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Satryo Sumantri Brojonegoro kandas sudah. Rombongan terdiri atas Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI, para Ketua BEM fakultas, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UPI, dan Ketua Senat Mahasiswa FPBS tersebut hanya diterima salah seorang direktur kelembagaan di lingkungan Dikti, Fuad Abdul Hamied.

Akhirnya, mereka hanya menyampaikan surat berisi perkembangan terakhir UPI dan hasil lokakarya mahasiswa yang digelar beberapa waktu ke belakang. Fuad sendiri bukan orang baru bagi pimpinan ormawa. Maklum, sebelum ke Jakarta, Fuad merupakan Pembantu Rektor IV UPI.

"Awalnya kami berharap akan diterima Dirjen Dikti. Namun, karena Dirjen tidak ada, kami hanya diterima Pak Fuad. Menurut dia, Dirjen Dikti ada urusan lain yang lebih penting. Sehingga tidak bisa menemui kami," ungkap Apudin, ketua BEM FPIPS dengan nada menyesal.

Merujuk pernyataan Apudin, materi yang disampaikan kepada Mendiknas merupakan aspirasi yang sejak lama berkembang kalangan ormawa. Secara umum, surat mengungkap kondisi UPI sebelum dan sesudah menjadi perguruan tinggi Badan hukum milik negara (BHMN) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2004. Lampiran pertama menguraikan sejarah perkembangan UPI, fakta-fakta pasca penetapan BHMN, fakta-fakta pembentukan alat kelengkapan, gambaran situasi aktual versi BEM UPI, dan pernyataan sikap.

Paket lampiran kedua sebanyak enam lembar merupakan pokok-pokok pemikiran hasil lokakarya BEM UPI mengenai PP Nomor 6 tahun 2004. Bagian ini dilengkapi dengan ruang untuk membubuhkan tanda tangan para pimpinan organisasi kemahasiswaan (Ormawa) di UPI.

Saat ditemui pimpinan ormawa Fuad menjanjikan akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Dirjen Dikti dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Untuk memastikan aspirasinya sampai kepada Mendiknas, pimpinan Ormawa berencana mendatangi kembali orang nomor sau di Depdiknas, besok.

Sementara itu, ketua panitia pemilihan rektor UPI Asmawi Zainul memastikan sidang pemilihan rektor akan dilangsungkan di Jakarta. Asmawi mengatakan hal itu saat ditemui Isola Pos di rumahnya, Selasa (14/6). Sebelumnya, Asmawi sempat menyatakan keinginannya agar sidang pemilihan rektor dilakukan di kampus Bumi Siliwangi UPI.

Terkait dengan pelaksanaan sidang MWA, pimpinan oramawa berencana menggelar unjuk rasa. Hingga kemarin, BEM UPI belum memastikan apakah aksi akan dilangsungkan di Jakarta atau di sekitar kampus. Secara teknis, rencana aksi baru akan dibahas hari ini.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 16 Juni 2005]

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Pemilihan Rektor UPI Terus Ditentang

# Menteri Diminta Turun Tangan

BANDUNG-Meski pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) oleh Majelis Wali Amanat (MWA) akan dilakukan kurang dari sepekan ke depan, namun sejumlah penolakan terus muncul. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI sejak semula menolak rangkaian pemilihan rektor. Penolakan merupakan konsekuensi dari penolakan mereka terhadap perubahan status UPI menjadi badan hukum milik negara (BHMN).

Tidak kalah tegasnya, penolakan juga muncul dari civitas akademika yang tergabung dalam Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI. Bedanya dengan sikap ormawa, penolakan FPMD lebih didasarkan pada penilaian tidak demokratisnya proses yang dilakukan selama pemilihan berlangsung. Mereka menuntut pemilihan ditangguhkan sampai terbentuknya Senat Akademik (SA) dan MWA yang baru.

“Saya sangat pesimis dengan pemilihan rektor UPI saat ini. Proses ini hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pemilihan ini telah didesain untuk menaikkan seseorang menggantikan rektor saat ini. Pada dasarnya kami tidak mempermasalahkan siapa rektor yang akan terpilih. Kami hanya menyayangkan mekanisme pemilihan yang tidak demokratis,” tegas Cecep Dharwaman, salah seorang penggiat FPMD yang temui Radar usai penyampaian kertas kerja para bakal calon rektor UPI, beberapa waktu lalu.

Ditemui secara terpisah, seorang pensiunan guru besar UPI yang namanya minta tidak dimunculkan dalam pemberitaan menilai pemilihan rektor dilakukan tergesa-gesa. Padahal, dia masih melihat banyak hal yang mesti "dibereskan".

"Secara teori, proses yang dilakukan secara tergesa-gesa itu mengandung rekayasa. Secara politis, ditengarai ada rencana baru dibalik ketergesa-gesaan. Saya tidak menuduh, tugas anda untuk membuktikan. Apakah teori itu sesuai dengan kenyataan atau tidak," ujarnya kepada Radar di kantor yayasan yang dikelolanya, Senin (13/6).

Lebih jauh ia mengatakan, kewajiban untuk membuktikan hal tersebut ada pada Menteri Pendidikan Nasional (Mendikas). Meski begitu, dia menduga Mendiknas tidak akan mengambil tindakan terlalu jauh terkait dengan pemilihan rektor UPI. Mendiknas saat ini, lanjut dia, memiliki resiko politik. Maklum, partai yang mengusung nama Bambang Sudibyo tengah dirundung masalah.

Dimintai pendapatnya tentang konsep demokrasi akademik yang dikedepankan pihak universitas, dia menolak adanya penambahan embel-embel konsep demokrasi. Menurutnya, demokrasi bersifat universal. Karena itu tidak bisa ditambah-tambah. Penambahan, kata dia, pada dasarnya adalah penghilangan terhadap makna demokrasi itu sendiri.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 15 Juni 2005]

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

Wednesday, June 15, 2005

 

Siapa Peduli/”Paduli” UPI?

Oleh ATANG ANDIWIJAYA

Namun, sebagai insan kampus yang memahami betul perlunya dialog kreatif sebagai bagian dari proses pembelajaran demokrasi maka penulis merasa perlu mengomentarinya untuk meluruskan pandangan-pandangannya yang keliru.

Argumen MSBI yang perlu diluruskan dan diklarifikasi, pertama, pernyataannya "... kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI dan beberapa guru besar dan mantan rektor UPI yang sudah berkiprah di lembaga lain. Kritikan mereka umumnya bias kepada hanya salah satu calon, seolah-olah calon lain tidak memiliki kelemahan." Pernyataan di atas bukan hanya lemah argumentasinya tetapi membuat tuduhan seolah-oleh FPMD, beberapa guru besar, dan mantan rektor, bersekongkol untuk mengkritik salah satu calon rektor. Atas dasar apa MSBI mengatakan demikian? Sejauh penulis aktif di FPMD UPI, ketika mengkritik calon rektor, FPMD UPI tidak hanya mengkritik salah satu calon rektor. Baca dan ikuti pemikiran FPMD di berbagai media, termasuk di harian ini ("PR"). FPMD didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan, melainkan untuk mendorong demokratisasi dan iklim akademik di kampus. Singkatnya FPMD ingin membangun clean and good university. Oleh karenanya perjuangan FPMD dari, oleh, dan untuk semua. Tidak ada pihak yang akan harus dirugikan oleh perjuangan kami. Kecuali itu, FPMD memosisikan diri sebagai kelompok insan akademik yang kritis terhadap berbagai kebijakan universitas, termasuk kepada rektor yang baru nanti (siapa pun rektornya). Jika selama ini kritik-kritik itu ditujukan kepada elite di universitas, jangan disimplifikasikan dan disimpulkan sebagai FPMD mengkritik salah satu calon. MSBI terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Sekadar MSBI ketahui, saat public hearing lalu eksponen FPMD bertanya dan mengkritisi semua calon. Tidak hanya itu. Kami bahkan katakan, berdasarkan paparan para calon, jika kami adalah Senat Akademik (SA) maka kami akan pilih Pak Sutjipto. Mengapa? Jawabannya bukan karena Pak Sutjipto juga alumnus UPI. Tetapi jujur saja, dalam pandangan kami, paparan Pak Sutjipto sangat argumentatif dan menguasai persoalan. Ini artinya, kami mengkritik semua calon. Jadi pemihakan kami adalah pada tataran objektivitas, bukan kekuasaan, dan kepentingan pragmatis sesaat.

Pada sisi lain, penulis yakin bahwa para guru besar dan mantan rektor yang juga turut dituduh oleh MSBI adalah kaum intelektual yang kapabel, kredibel, dan akuntabel berupaya objektif, jujur, dan proporsional dalam mengemukakan pandangan-pandangannya. Yakinlah bahwa mereka juga akan menyangkal pernyataan MSBI yang tidak memiliki fakta sosial tersebut. Alih-alih menuduh FPMD, para guru besar, dan mantan rektor menyudutkan salah satu calon rektor, MSBI justru terkesan membela (untuk tidak menyebut berkampanye) salah satu calon rektor.

Kedua, MSBI menyatakan, "... aktivis FPMD dalam status dosen telah menyeret aktivitasnya menjadi semacam partai politik yang menjadikan kampus sebagai dunia politik praktis, oposisi terhadap kekuasaan, tetapi oposisi dan otoriter terhadap perbedaan. Kebenaran seolah tinggal dan itu hanya milik mereka." Pernyataan MSBI tersebut bernada tuduhan dan tendensius. MSBI mungkin tahu apa itu partai politik dan apa bedanya dengan kelompok penekan (pressure group) dan kelompok kepentingan (interest group)? Tidak perlu dijelaskan di sini, karena bukan itu esensinya. Sekali lagi FPMD bukan parpol dan bukan pula oposisi partai, karena kami tidak berorientasi pada kekuasaan. Selain FPMD, sebenarnya elemen atau forum lain banyak juga di UPI ini. Dalam hal ini, kami tidak kompeten untuk menilai dan berkomentar mengenai menjamurnya organisasi ekstra kelembagaan di UPI dan bagaimana perannya, termasuk mengapa banyak (tidak semuanya) muncul ketika ada momen pemilihan rektor.

FPMD sendiri adalah kelompok kritis yang berdiri sebelum momen pemilihan rektor. Kritik-kritik yang kami lakukan adalah dalam kerangka membenahi struktur dan kultur kampus agar tercipta kampus yang ilmiah, edukatif, dan religius dalam suasana egaliter dan demokratis dengan koridor norma akademik-keilmuan, hukum, nurani, sosial, kepatutan, dan moral keagamaan. Kritik-kritik tersebut adalah hasil kajian mendalam melalui dialog dan diskusi yang intens antarkomponen FPMD dan terbuka juga bagi para konsultan keilmuan dari berbagai bidang kepakaran sehingga substansinya dapat dipertanggungjawabkan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Kami siap dan selalu siap untuk dikritik dan diberi masukan. Kami tidak pernah mengklaim kalau pendapat kami lah yang paling benar. Kami hanya ingin mencoba melontarkan gagasan-gagasan yang, menurut hemat kami, mengandung nilai-nilai kebenaran ilmiah, edukatif, dan kepatutan sebagai insan kampus.

Kritik FPMD yang paling mengemuka adalah persoalan mekanisme dan prosedur pemilihan Senat Akademik (SA) dan Majelis Wali Amanah (MWA). FPMD setuju BHMN beserta organ-organnya. Persoalannya, mekanisme pemilihan anggota SA, setelah pemilihan di tingkat jurusan, mengapa ditunjuk oleh pimpinan fakultas dan di tingkat universitas ditunjuk oleh rektor? Begitu pula pemilihan anggota MWA, mengapa anggotanya ada beberapa dekan, pembantu dekan, dan asisten direktur pascsarjana, yang notabene adalah mereka yang dipilih rektor sementara, tugasnya mengawasi rektor dan memilih rektor juga? Kebutuhan untuk membersihkan pola rekrutmen dan optimalisasi peran MWA dari KKN, telah menjadi satu kritikan pula di lingkungan akademik UGM. Untuk konteks Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi (2002: 59) memberikan kritikan mengenai karakter MWA UGM, yaitu (1) anggota MWA banyak yang tidak dikenal oleh anggota civitas academica, (2) anggota MWA mayoritas ditetapkan oleh Senat Akademik, (3) anggota MWA potensial dipolitisasi oleh kepentingan segelintir orang yang sedang bertarung dalam drama pemilihan rektor. Jika kritikan ini tidak diperhatikan, publik yakin bahwa kritikan serupa akan menimpa pula ke lembaga MWA yang dimiliki oleh UPI.

Mengenai persoalan ini MSBI mengemukakan bahwa, "artinya sebagian anggota dan sekretaris MWA bisa terjadi adalah pejabat struktural juga, meskipun tidak selalu harus dekan". Pernyataan tersebut, menurut hemat kami jauh lebih maju dibandingkan pernyataan-pernyataan lain, karena MSIB secara langsung memandang dekan adalah pejabat struktural. Persolan dasarnya bukan pada persoalan pejabat struktural di bawah rektor menjadi anggota MWA, tetapi dikaji dari sisi keilmuan manajemen modern, apakah pola seperti ini dapat dibenarkan? Seperti juga mengapa Ketua Panitia Pemilihan dirangkap oleh Ketua SA dan Sekretaris Panitia Pemilihan (waktu itu) dirangkap salah seorang anggota MWA, serta mengapa beberapa anggota SA juga merangkap sebagai anggota Panitia Pemilihan?

Kami yakin mereka akan bekerja dengan baik, namun masalahnya adanya monopoli dan seperti kekurangan sumber daya. Padahal guru besar dan doktor yang tidak diragukan kemampuan manajerial dan kepemimpinannya banyak sekali di UPI ini. Bukankah check and balances system tidak melulu persoalan trias politika seperti yang dituduhkan MSBI, melainkan lebih pada persoalan mekanisme kontrol yang baik agar tidak terjadi konflik kepentingan. Perbedaan pandangan ini sesuatu yang sah-sah saja, disamping memang aturan mainnya belum ada (Aturan Rumah Tangga/ART). Padahal sudah lebih dari setahun PP No. 6 Tahun 2004 sehingga ART semestinya dibuat dengan melibatkan stakeholders di UPI, agar tidak terjadi salah tafsir terhadap pasal-pasal karet di PP tersebut karena persoalan kepentingan tersembunyi dari seseorang atau kelompok orang dengan menggunakan rule of man.

Tak terkecuali itu, mengapa wakil-wakil masyarakat yang terpilih di MWA, Mr. A, Mr. B, Mr. C, dan seterusnya? Apa kriterianya dan mengapa tidak melalui uji publik dari civitas academica, sehingga sekarang ini salah seorang anggota MWA (ST) sedang bermasalah dalam kaitan korupsi di Bank Mandiri? Ini bukti bahwa tingkat selektivitas, akuntabilitas, dan transparansi diabaikan. Padahal akuntabilitas dan transparansi itu adalah conditio sine qua non bagi membangun clean and good university, apalagi bagi perguruan tinggi BHMN. Jangan sampai dengan dalih masa transisi kemudian aturan main dapat di-plintir-plintir dan kepatutan dilanggar begitu saja.

Atas argumentasi di atas tidak pada tempatnya MSBI menuduh FPMD dan salah seorang guru besar sekadar sensasi dan merusak citra UPI. Pernyataan MSBI itu justru terbalik, siapa yang sebenarnya sensasional dan merusak citra UPI? Kami dan para guru besar, dosen, mantan rektor, serta elemen lain dalam kerangka memperbaiki sistem agar citranya di masyarakat, baik masyarakat Jawa Barat, nasional maupun internasional menjadi lebih terhormat. Kami khawatir upaya kami nyunyuhun UPI dengan membangun sistem kelembagaan ini diputarbalikkan oleh kepentingan orang atau sekelompok orang yang antiperubahan atau penyokong setia status quo di UPI ini. Indikasi ini jelas terlihat dari selebaran dan surat-surat kaleng yang ditujukan kepada FPMD, para guru besar, dosen, BEM, dan lain-lain yang isinya "naudzubillah" sangat memalukan dan memilukan. Kami semua prihatin, walau kami tidak mau menuduh siapa aktor di balik itu semua.

Ketiga, persoalan pemanggilan aktivis mahasiswa oleh dekan atau pembantu dekan. Tahukah MSBI bahwa berdasarkan dialog kami dengan mereka, beberapa aktivis itu mengaku ditekan dan dipaksa membuat surat pernyataan tertentu. Apalagi dengan teknik pemanggilan yang bersifat konfrontir. Semua sepakat bahwa cara-cara tersebut mestinya dialogis, terbuka, elegan, dan tidak dalam kerangka mencari siapa yang salah, apalagi diaduhadapkan dengan elemen mahasiswa atau ormawa lain. Jadi, kami perlu mengapresiasi mereka dari sisi edukasi bahwa cara-cara seperti itu bukan hanya tidak mendidik tetapi juga melanggar hak-hak dasar warga negara untuk mengekspresikan pandangan-pandangannya yang dijamin oleh konstitusi negara UUD 1945 Pasal 28 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bahwa "Setiap warga negara secara perorangan atau kelompok, bebas menyatakan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara" (Pasal 2 Ayat 1).

Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan atau mimbar bebas" (Pasal 9 Ayat 1). Sementara pengingkaran terhadap hak-hak dasar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi negara. Seperti juga diancam oleh Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998 yang berbunyi, "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan UU ini dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun."

Keempat, pernyataan MSBI bahwa "FPMD membaurkan antara kenyataan masa lalu dalam struktur UPI PTN dengan transisi masa kini dan masa depan dalam struktur UPI BHMN. Misalnya sangat mengherankan dan naif jika dikatakan bahwa UPI belum pernah dan harus diaudit". Pernyataan MSBI itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak pernah membaca atau memahami konteks surat FPMD soal audit. Mohon MSBI mempelajari kembali Surat FPMD UPI Nomor: XI/FPMD/3/2005, Perihal: Pentingnya Audit Pejabat UPI BHMN. Di dalam surat tersebut jelas sekali bahwa kami menginginkan pejabat-pejabat UPI BHMN adalah mereka yang bersih dari KKN. Oleh karenanya penting kekayaan pejabat UPI, rektor yang baru nanti, dan yayasan-yayasan di bawah naungan UPI termasuk IKA yang memiliki perusahaan (PT) harus diaudit oleh akuntan publik.

Kelima, pernyataan MSBI bahwa FPMD kritik-kritiknya sebagian tendensius dan penuh prasangka, sepertinya hanya dinisbatkan pada salah satu calon rektor. Kalaulah benar apa yang disangkakan tersebut, mohon dibuktikan dan kepada siapa kami mengritik seorang calon rektor tersebut? Dan kami menunggu keberatan atas kritik itu datang dari calon rektor yang dimaksud, bukan dari MSBI yang hanya mengatasnamakan anggota forum diskusi "MATAKU". Padahal sudah maklum bersama bahwa MSBI sendiri adalah statusnya anggota SA pengganti antarwaktu yang diangkat rektor beberapa hari sebelum pemilihan rektor. Sampai tulisan ini dimuat tidak ada klaim atau keberatan dari calon rektor atas kritik-kritik kami. Yang kami kritisi adalah prosedur dan mekanisme pemilihan rektor melalui kelembagaan SA dan MWA, yang menurut hemat kami masih menyisakan masalah.

Catatan penutup

Semua pihak sepakat bahwa UPI sebagai lembaga akademik harus menghindari budaya regimentasi (pelanggengan rezim) yang dilatarbelakangi kepentingan penguasaan aset-aset universitas oleh pihak penguasa kampus dan kroninya (baladisme/koncoisme). Lebih lanjut, sekali lagi, biarlah publik yang akan menilai mana yang objektif, rasional, dan proporsional dan siapa yang memihak itu? Dengan kata lain publik semakin cerdas mana kelompok yang cinta dan peduli UPI dan mana yang "paduli" (apatis) serta menggerogoti UPI selama ini. Wallahualam.***

Penulis, anggota presidium FPMD UPI, mahasiswa Program Pacsasarjana Universitas Negeri Jakarta.

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, pada 15 Juni 2005

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

FPMD UPI = Forum ”Paduli” (Masa Bodoh) UPI?

Oleh M. SYAOM BARLIANA ISKANDAR

PEMILIHAN calon Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) oleh Senat Akademik (SA) baru saja berlangsung pada Kamis, 26 Mei 2005 lalu. Dalam sidang pemilihan yang demokratis dan dinamis, untuk sementara dihasilkan tiga calon rektor yang akan diusulkan kepada Majelis Wali Amanat (MWA) untuk dipilih menjadi rektor. Ketiga calon tersebut adalah Amung Mamun, Said Hamid Hasan, dan Sunaryo Kartadinata.

Ada beberapa catatan menarik yang penting untuk dikemukakan dari dalam maupun luar sidang SA tersebut. Pertama, seperti diprediksikan oleh sejumlah orang, ketiga orang itulah yang muncul sebagai calon rektor untuk tahap pemilihan kedua. Dari segi kompetensi dan presentasi pada saat public hearing, banyak yang menilai bahwa calon dari luar UPI seperti Sucipto (rektor UNJ) dan Sukmana Soma (Unpak) layak pula memperoleh suara untuk membawa perubahan bagi UPI. Namun demikian, pertimbangan sebagai tokoh yang lebih dikenal jejak rekam (track record)-nya oleh civitas academica UPI, tampaknya menjadi pertimbangan anggota SA untuk lebih memilih ketiga calon di atas.

Kedua, ada pertanyaan menarik, kritis, dan objektif dari anggota SA, Fuad Abdul Hamid mengenai dua calon kuat yaitu Said Hamid Hasan dan Sunaryo, bahwa ada isu tentang image yang lekat pada keduanya. Yang satu dicitrakan sebagai "Mr. No", karena menurut Fuad, banyak inisiatif, gagasan, dan proposal program yang belum apa-apa sudah dijawab tidak. Yang satu lagi dikenal sebagai "Mr. Yes", karena semua ide dan usul diiyakan, tapi akhirnya sulit mengambil keputusan. Penulis tidak perlu menjelaskan jawaban dari kedua calon rektor atas citra yang dilekatkan pada diri mereka, karena bukan itu inti tulisan ini. Intinya, meskipun tentu memiliki kepentingan dan pilihan sendiri dalam pemilihan calon rektor ini, Fuad sebagai seorang akademisi dan guru besar telah memberikan kritik yang seimbang, tidak tendensius, dan jernih.

Ketiga, hal itu berbeda misalnya dengan kritik-kritik yang dikemukakan oleh Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI dan beberapa pihak yang lain termasuk disebut-sebut sejumlah guru besar dan mantan rektor UPI yang sudah berkiprah di lembaga lain. Kritik-kritik mereka umumnya bias kepada hanya salah satu calon, seolah-olah calon yang lain tidak memiliki kelemahan. Padahal kita tahu, bahwa setiap calon memiliki kelebihan dan kekurangan, baik dari segi kompetensi maupun konteks psiko-sosial-politik yang melingkupinya.

Dengan demikian, jika FPMD betul-betul menjadi watchdog, tidak memiliki kepentingan politik apa pun, tidak terlibat money politics, tidak digunakan sebagai kendaraan politik oleh siapa pun seperti kritik yang dikemukakannya kepada salah satu calon, maka sesungguhnya tidaklah layak hanya salah satu calon yang menjadi sasaran serangan tendensius.

"Politisasi" kampus

Pemilihan calon rektor sebuah perguruan tinggi adalah sebuah peristiwa politik. Namun demikian, ada perbedaan antara politik dengan "politisasi" kampus. Yang terjadi, aktivis FPMD dalam status sebagai dosen telah menyeret aktivitasnya menjadi semacam partai politik yang menjadikan kampus sebagai dunia politik praktis, oposisi terhadap kekuasaan, tetapi oposisi dan otoriter juga terhadap perbedaan. Kebenaran seolah tunggal, dan itu hanya milik mereka. Hal ini tampak dari pernyataan-pernyataan dan pamflet-pamflet politiknya. Bahkan, sementara pihak lain dianggap tidak memiliki sensitivitas, mereka sendiri justru menjadi sangat sensitif. Ketika seorang aktivis mahasiswa dipanggil atau diundang berdialog untuk mengklarifikasi pernyataannya, lalu itu dianggap sebagai tindakan otoriter, kesewenang-wenangan, ancaman, dan lain-lain.

Gejala itu dapat dianalisis dari seruan atau kritik-kritik yang dikemukakan FPMD dan beberapa pihak lain yang senada, yang dalam bulan-bulan ini hampir setiap hari menghiasi harian Pikiran Rakyat, sebagai berikut. FPMD membaurkan antara kenyataan masa lalu dalam struktur UPI PTN dengan transisi masa kini dan masa depan dalam struktur UPI BHMN. Misalnya, sangat mengherankan dan naif jika dikatakan bahwa UPI belum pernah dan harus diaudit. Sebagai lembaga milik pemerintah yang sebagian besar dananya bersumber dari APBN dan masyarakat, setiap tahun pasti UPI diaudit oleh lembaga BPK, BPKP, dan inspektorat jenderal.

Yang patut dipersoalkan sesungguhnya adalah sejauh mana kinerja dan akuntabilitas audit oleh lembaga-lembaga tersebut. Namun demikian, ini adalah persoalan nasional yang juga dihadapi oleh lembaga-lembaga pemerintah lain. Karena itu, yang penting dan patut dicermati pada era UPI BHMN, adalah pembentukan dewan audit yang harus diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas, kejujuran, dan keahlian auditing tinggi.

Tentang MWA, ada dua isu yang dikemukakan. Pertama, soal rekrutmen anggota MWA wakil masyarakat yang menurut informasi dilakukan oleh rektor sekarang dan tidak oleh (tim/badan tertentu yang dibentuk?) melalui mekanisme terbuka. Prosedur ini selayaknya dipandang sebagai suatu transisi, sebab jika pun diiklankan di media massa secara terbuka seperti pemilihan calon rektor, tidak ada jaminan bahwa ada tokoh-tokoh nasional dan regional sekaliber Ahmad Syafi'i Ma'arif, Abdulgani, Popong Otje Junjunan, Danny Setiawan, dll., yang serta-merta mau mendaftar sebagai calon anggota MWA UPI.

Kedua, soal rangkap jabatan struktural dekan yang juga menjadi anggota atau Sekretaris MWA (mengikuti terminologi sejumlah aktivis mahasiswa, yang menganggap bahwa pimpinan mulai universitas, fakultas, sampai jurusan dan program studi adalah jabatan struktural). Dalam kalimat lain, rangkap jabatan antara eksekutif dan legislatif, karena -- entah tepat atau tidak -- sebagian orang juga menafsirkan penerapan konsep trias politica di kampus. Ini seharusnya diurut dan dipersoalkan mulai dari aturan rekrutmen anggota SA. Kecuali dekan yang ex officio, dalam keadaan ekstrem, wakil fakultas yang terpilih sebagai anggota SA seluruhnya atau sebagian dapat merupakan pejabat struktural karena pembantu dekan, ketua jurusan, dan ketua program studi dapat dipilih oleh dewan dosen di jurusan. Artinya sebagian anggota dan sekretaris MWA bisa terjadi adalah pejabat struktural juga, meskipun tidak selalu harus dekan.

Jadi masalahnya tidak sesederhana soal rangkap jabatan. Sebab jika pun menerapkan konsep trias politica, pemisahan jabatan antara SA dan MWA sebagai legislatif dengan pejabat struktural sebagai eksekutif seperti dalam politik kenegaraan, apakah mungkin diterapkan di perguruan tinggi? Dapatkah dosen anggota SA dan MWA yang diasumsikan belum pernah/tidak menjabat pimpinan memahami kompleksitas persoalan serta menyusun norma-norma akademik dan manajerial perguruan tinggi secara komprehensif? Ini adalah tugas SA dan MWA ke depan untuk merumuskan mekanisme dan aturan detail yang demokratis, tetapi tetap menempatkan kampus perguruan tinggi sebagai lembaga akademik dan bukan lembaga politik praktis.

Dengan demikian, isu-isu tentang cacat hukum, cacat moral, melanggar etika, dan carut-marut berkaitan dengan hal itu yang dikemukakan oleh FPMD dan salah seorang guru besar tidaklah relevan kecuali sekadar sensasi, sebab ketimbang memperbaiki keadaan lebih banyak justru merusak citra UPI. Dalam masa transisi ini, yang penting sesungguhnya apakah pemilihan di jurusan dan fakultas untuk anggota SA dan sidang SA untuk anggota MWA sudah berjalan demokratis (musyawarah, voting?) atau berdasarkan tekanan dan pemaksaan kehendak? Kemudian, biarkan SA dan MWA transisi ini bekerja dengan baik untuk melahirkan aturan-aturan dan norma-norma akademik, manajerial, dan "politik" yang lebih berkualitas dan demokratis di masa depan.

Sebagai analogi, ada suatu masa dalam akhir pemerintahan B.J. Habibie, melahirkan pemilu pertama yang dipandang cukup demokratis setelah era Orde Baru, padahal anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)-nya adalah partai-partai politik peserta pemilu sendiri. Ganjil memang, tapi itu adalah kenyataan sejarah pada level politik nasional, pada masa transisi, yang pantas diapresiasi.

Kekaburan dan bias yang lain, yang dikemukakan oleh salah seorang calon rektor dan Sekretaris Forum Rembug Jawa Barat (FRJB), adalah tentang badan usaha komersial yang boleh dan dapat dibentuk oleh sebuah universitas BHMN. Yang mengherankan, hal ini dikaitkan dengan keberadaan sebuah perusahaan yang ada sekarang ini yang dibentuk oleh Ikatan Alumni UPI. Meskipun sejarahnya berbeda, seperti LAPI ITB dan sejumlah anak perusahaannya, perusahaan ini adalah perseroan terbatas yang berorientasi profit tapi juga sosial sebagai wahana pembelajaran bagi alumni dan mahasiswa (praktik kerja, praktik industri, magang, dll.), dengan akses pasar tidak terbatas hanya pada UPI.

Jadi ini adalah perusahaan publik dan bukan perusahaan pribadi, yang dipertanggungjawabkan melalui Pengurus IKA dalam kongres. Dalam rangka UPI BHMN, siapa pun rektornya nanti, mungkin saja perusahaan ini diakuisisi oleh Badan Usaha UPI atau tetap berdiri sendiri, bergantung kepada kesepahaman antara pengurus/kongres dengan Rektor baru UPI BHMN, karena IKA bukan lembaga subordinat UPI.

Atas dasar itu, kritik Sekretaris FRJB tentang perusahaan ini tidaklah tepat. Yang patut dikritik, sesungguhnya adalah sejumlah pejabat yang memiliki perusahaan pribadi (yang tentu saja tidak mudah dilacak karena menggunakan nama orang lain), yang mengakses pengadaan barang dan jasa di UPI. Meskipun, tentu saja hal itu sesuatu yang sah sejauh melalui prosedur dan mekanisme yang sesuai aturan.

Catatan akhir

Yang menarik, seperti disinggung di muka, semua kritik-kritik yang sebagian tendensius dan penuh prasangka, sepertinya hanya dinisbatkan pada salah seorang calon rektor. Padahal, kalaupun mau disebut ikut bertanggung jawab dalam kepemimpinan eksekutif masa itu, maka ada tiga pejabat yaitu Pembantu Rektor I, Pembantu Rektor II, dan Dekan FPOK yang ikut mencalonkan diri. Semua calon ini jelas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Tidak mungkin seorang calon steril dan tanpa kritik sama sekali.

Isu yang terakhir misalnya tentang pertarungan antara kubu kekuasaan dan kubu akademik. Ini adalah penjelasan yang tanpa argumen yang kuat dan bahkan sedikit menggelikan. Kedua calon kuat adalah guru besar yang sudah dikenal kompetensinya dalam bidang masing-masing serta pada tingkat tertentu memiliki wawasan dan komitmen pada peningkatan kualitas akademik. Salah satu calon rektor bahkan berpengalaman sebagai pembantu rektor I selama delapan tahun menangani masalah akademik serta memelihara dan mngembangkan standar-standar kualitas akademik, meskipun ada yang menganggapnya cenderung konservatif. Sebaliknya, dengan kondisi kuantitas dan kualitas umumnya fasilitas kelas dan laboratorium (peralatan, media belajar) yang ada sekarang, serta rendahnya biaya penelitian dan pengabdian masyarakat, hal ini menyiratkan kurangnya dukungan optimal pembiayaan dari pembantu rektor II sebagai calon rektor yang disebut sebagai kubu akademik.

Ini adalah sesuatu yang tidak fair yang dilakukan FPMD. Dengan subjektivitas semacam itu, maka dengan mudah dapat ditafsirkan bahwa alih-alih menuding pihak lain menggunakan organisasi sebagai kendaraan politik, padahal sebaliknya organisasinyalah yang mungkin digunakan baik langsung maupun tidak langsung sebagai kendaraan politik pihak tertentu. Alih-alih menuding pihak tertentu tidak netral, lalu sejauhmana netralitas FPMD dengan pernyataan dan aksi-aksinya yang bias dan tendensius? Jika ini terjadi, tapi mudah-mudahan tidak, maka Forum Peduli Masa Depan dapat terjebak menjadi Forum "Paduli" (Masa Bodoh) UPI.

Oleh sebab itu, karena proses pemilihan oleh SA telah dilalui, maka pemilihan rektor oleh MWA sebaiknya fokus pada upaya melihat kualitas individu, kompetensi akademik, kepemimpinan, kemampuan manajerial, entrepreuneurship, visi dan wawasan lokal, nasional, dan internasional, serta konsep pengembangan UPI yang ditawarkan. MWA tentu tidak mungkin terjebak pada isu-isu politis dan isu-isu pinggiran lainnya.

Mudah-mudahan, pemilihan ini dapat memunculkan rektor, siapa pun orangnya, yang akan membawa kemajuan pesat bagi UPI di masa depan. Dengan sejumlah kritik yang dilontarkan kepadanya, akan menjadi bahan introspeksi dan berupaya memperbaiki diri pada saat salah satu calon rektor terpilih menjadi rektor. Dengan demikian, berita yang muncul di media massa nanti adalah berita tentang prestasi UPI, dan bukan lagi tentang sensasi, isu-isu, dan pamflet politik yang sekadar mencari popularitas individu. Civitas academica merindukan berita tentang UPI yang memproduksi manusia-manusia unggulan, riset unggulan, hak cipta kekayaan intelektual bermutu dan layak jual, buku-buku bermutu, serta produktivitas beragam jasa dan layanan pendidikan lainnya yang berstandar nasional maupun internasional.***

Penulis anggota kelompok diskusi "Mataku", UPI.

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, pada 10 Juni 2005]


DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

Tuesday, June 14, 2005

 

BEM UPI Layangkan Surat ke Presiden

# Agendakan Pertemuan dengan Mendiknas

SETIABUDHI-Kecilnya peluang mengajukan hak uji materiil (judicial review) tidak lantas membuat Bedan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (BEM UPI) mundur. Alternatif yang diambilnya dengan mengirimkan surat tertulis kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta.

Salinan surat yang diperoleh Radar mengungkap kondisi UPI sebelum dan sesudah menjadi perguruan tinggi Badan hukum milik negara (BHMN) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2004. Lampiran pertama menguraikan sejarah perkembangan UPI, fakta-fakta pasca penetapan BHMN, fakta-fakta pembentukan alat kelengkapan, gambaran situasi aktual versi BEM UPI, dan pernyataan sikap.

Paket lampiran kedua sebanyak enam lembar merupakan pokok-pokok pemikiran hasil lokakarya BEM UPI mengenai PP Nomor 6 tahun 2004. Bagian ini dilengkapi dengan ruang untuk membubuhkan tanda tangan para pimpinan organisasi kemahasiswaan (Ormawa) di UPI. Hingga diperolehnya salinan tersebut, siang kemarin, pimpinan ormawa yang telah membubuhkan tanda tangan sebanyak empat orang. Kolom yang disediakan sendiri berjumlah 35 kolom.

Menurut Ketua Departemen Sosial Politik (Depsospol) BEM UPI Rizki Aminullah, surat tersebut akan disampaikan kepada presiden melalaui faximile. Kepada Radar Rizki mengaku telah mengantongi nomor faximile ruang kerja presiden. Selain surat, pihaknya juga berencana melangsungkan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo.

Rizki berharap, baik surat maupun pertemuan langsung dengan Mendiknas bisa dilakukan sebelum pelaksanaan sidang Majelis Wali Amanat (MWA), 20 Juni mendatang. Sejauh ini, pertemuan dengan Mendiknas tinggal menunggu konfirmasi dari sekretariat Mendiknas. Rizki mengaku akan terus menghimpun tanda tangan dukungan dari pimpinan ormawa sambil menunggu kepastian waktu dari Mendiknas.

"Kami akan menyerahkan hasil lokakarya beberapa waktu lalu. Untuk hasil lokakarya sudah tidak ada masalah, pimpinan ormawa menyetujui. Kami tinggal mengirimkan. Rencananya dikirim hari ini (kemarin, red)," ujar Rizki saat ditemui di sekretariat BEM UPI, kemarin.

Sebagaimana pernah diungkap sebelumnya, BEM UPI bersikeras menganggap penetapan UPI sebagai BHMN tidak lahir dari sebuah proses yang demokratis. Proses tersebut, demikian salah satu petikan surat, menunjukkan arogansi kekuasaan. Sikap ini diperburuk dengan tidak transparannya proses pembentukan Senat Akademik (SA).

"Sudah jelas bagi kita semua bahwa sejak awal pembentukan hingga penetapan UPI menjadi BHMN, unsur-unsur yang ada dalam kampus seperti dosen, karyawan, dan mahasiswa tidak mendapatkan peran proporsional. Keterlibatan orang-orang tertentu semakin menambah kuat adanya indikasi pemenuhan kepentingan-kepentingan yang tidak murni untuk membela masyarakat kampus," papar Rizki sebagaimana dituangkan dalam lampiran surat.

Di bagian akhir, lampiran pertama sebanyak lima lembar juga menyampaikan pernyataan sikap BEM UPI. Enam poin pernyataan sikap tersebut bermuara kepada tuntutan kepada Mendiknas untuk menghentikan proses pemilihan rektor. Poin penting lainnya berupa penegasan sikap BEM untuk menolak siapa pun rektor yang akan terpilih oleh MWA.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 14 Juni 2005]

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?