Friday, June 10, 2005

 

Rektor UPI Tidak Tahu tentang Selebaran

# Dirjen Dikti "Ogah" Komentari UPI

DJUNJUNAN-Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. M. Fakry Gaffar, M.Ed., mengaku tidak mengetahui adanya selebaran di universitas yang dipimpinnya. Ia mengaku adanya perang selebaran itu saat wartawan meminta komentarnya tentang perang selebaran itu. Fakry mengatakan hal itu saat ditemui di sela pertemuan enam perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) di Grand Hotel Aquila, Jalan Dr. Djunjunan, kemarin.

"Selebaran apa itu. Saya tidak mengetahuinya. Apa isinya. Saya baru tahu dari anda. Di UPI sekarang sedang menjalani pekan sunyi. Saya lihat tenang-tenang saja," ujarnya sambil tersenyum. Radar yang selama beberapa hari terakhir ini memantau kampus UPI menemukan sejumlah titik yang dipenuhi selebaran. Beberapa diantaranya mengatasnaman civitas akademika UPI.

Fakry yang tetap mengaku tidak mengetahui adanya selebaran itu menilai, penggunaan selebaran sebagai penyampai aspirasi bukan merupakan media yang tepat. Kepada wartawan ia mengatakan, UPI merupakan lembaga pendidikan yang menyiapkan tenaga kependidikan. Karena itu, penggunaan cara-cara tersebut tidak sesuai dengan kaidah yang diusungnya.

"Kalau ada, kenapa harus selebaran. Saya sendiri belum pernah melihatnya. Sekali lagi, kalau itu betul, menurut saya tidak tepat," kata Fakry seraya menambahkan bahwa dirinya tidak mengerti dengan masih munculnya penolakan terhadap status UPI sebagai BHMN.

Selain selebaran, beberapa pihak yang selama ini dikenal kerap menyuarakan nada kritis terhadap kebijakan universitas mengaku mendapat kiriman surat kaleng. Salinan surat yang berhasil diperoleh Radar, surat bertajuk "Obat Bete Ala FPMD" tersebut menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa bagian meniru bahasa Rusia. Gaya Rusia juga digunakan untuk menyebut tiga orang yang muncul dalam surat tersebut.

Isi satu lembar surat tersebut pada intinya mendiskreditkan keberadaan FPMD. Surat tersebut juga memplesetkan FPMD menjadi Front Pembela Manusia Dajal. Muncul dalam surat tersebut sejumlah nama yang identik dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Aidit dan Muso.
Dihubungi secara terpisah, anggota presidium yang namanya muncul dalam surat yang dikirim langsung ke rumahnya, Cecep Dharmawan, menilai sebagai perbuatan yang memalukan dan melanggar norma susila, agama, dan hukum.

"Kalimat dan kata-katanya sungguh amat menghina. Seperti dibuat oleh orang yang tidak terdidik dan mengabaikan sopan santun keagamaan maupun moralitas masyarakat. Bahkan, surat itu sudah menodai kampus UPI itu sendiri," ujar Cecep, kemarin.

Mengenai perang selebaran maupun beredarnya surat kaleng, Cecep mengaku tidak akan menuduh siapa di balik pengiriman surat tanpa alamat pengirim tersebut. Cecep sendiri menganggap hal itu sebagai resiko dari pendiriannya yang selama ini tetap kritis menyikapi kebijakan universitas.

"Dalam teori politik, memang mengusung perubahan itu akan berhadapan dengan kelompok yang pro status quo. Dan, kelompok itu bisa saja meng-counter segala isu yang merugikannya dengan berbagai cara. Meski begitu, kami tidak ingin menuduh surat kaleng tersebut dikirim yang pihak yang selama ini dikritisi oleh FPMD," imbuh Cecep.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Satryo Sumantri Brojonegoro yang kemarin hadir di Aquila menolak berkomentar mengenai perkembangan BHMN maupun mengenai UPI. Sambil menuruni tangga menuju ke lantai 1, Satryo meminta agar pertanyaan mengenai MWA UPI ditanyakan kepada pihak UPI.

"Saya sudah beri penjelasan mengenai MWA UPI. Tanya saja sama MWA UPI," ujar Satryo ketus. Mengenai perkembangan BHMN, Satryo menjawab pertanyaan dengan singkat. "BHMN? Perkembangan apanya? Perubahan status tergantung kesiapan mereka. PT yang akan berubah ada di mana-mana, di Yogyakarta ada, di Kalimantan ada, dan juga daerah lainnya," tukasnya.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 10 Juni 2005]
 

Kecil, Peluang Judicial Review

# Agus : Kami Akam Datangi Langsung Mendiknas

SETIABUDHI-Rencana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk mengajukan hak uji material (Judicial Review) tampaknya akan mendapat ganjalan. Merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 1999 tentang Hak Uji Material, hak ini hanya bisa digunakan manakala berada dalam kurun waktu 180 hari sejak berlakunya peraturan tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2004 tentang penetapan UPI sebagai Perguruan Tinggi (PT) berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sendiri ditandatangani presiden pada 30 Januari 2004 lalu. Dengan demikian, peluang BEM UPI mengajukan judicial review menjadi kecil.

Demikian salah satu pendapat ahli hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Hernadi Affandi, S.H. saat menyampaikan makalahnya pada seminar mengenai tinjauan terhadap prosedur hak uji material di kampus UPI, Selasa (7/6). Atas alasan itu, Hernadi menyarankan agar BEM UPI menempuh cara lain untuk memuluskan langkah peninjauan terhadap regulasi tersebut.

"Perma Nomor 1 tahun 1999 mengatur tentang hak uji material. Salah satu poinnya mengenai tenggang waktu pengajuan hak, 180 hari. Jadi, rencana BEM UPI mengajukan hak bisa dikatakan terlambat. Mengacu kepada aturan itu, jelas peluangnya kecil. Meskipun demikian, saya tidak mengetahui apakah Perma tersebut sudah diperbarui atau belum. Sejauh saya ketahui, peraturan itu masih berlaku," papar Hernadi.

Aktivis Paguyuban Hak Asasi Manusia (Paham) Unpad ini menjelaskan, terdapat dua jenis hak uji material. Yakni, gugatan hak uji material dan permohonan keberatan hak uji material. Gugatan, kata Hernadi, adalah tuntutan kepada badan atau pejabat tata usaha negara terhadap peraturan perudang-undangan di bawah undang-undang yang diajukan kepada MA.

Sedangkan permohonan keberatan, lanjut Hernadi, adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Keberatan tersebut diajukan kepada MA untuk mendapat keputusan.

"Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara pengajuan gugatan atau permohonan keberatan hak uji material telah banyak mengalami perubahan. Ketentuan Perma No. 1 tahun 1999 masih relatif baru, sehingga masyarakat belum banyak mengetahuinya. Oleh karena itu, pihak atau seseorang yang akan mengajukan hak perlu berhati-hati menggunakan ketentuan ini," kata ungkap Hernadi.

Staf pengajar mata kuliah hukum tata negara Unpad ini menegaskan, kesalahan dalam memilih dan menerapkan dasar hukum dapat menyebabkan gugatan tidak mengenai sasaran atau dibatalkan oleh pihak berwenang. "Selain mengusai masalah yang akan diujikan, tata cara pengajuan gugatan atau permohonan keberatan juga sangat penting," tegas dia.

Menanggapi hal itu, Ketua BEM UPI Agus Salim mengaku sudah menyiapkan langkah alternatif bila judicial review tidak bisa dilakukan. Salah satunya dengan cara menyampaikan langsung keberatannya kepada pembuat peraturan itu, Presiden. Sebelum sampai ke presiden, pihaknya terlebih dahulu akan menyampaikannya kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendikas).

"Beberapa waktu ke belakang kami telah mengajukan pertemuan dengan Mendiknas. Staf Sospol BEM datang langsung di kantor Mendiknas di Jakarta. Sekretaris pribadinya menyarankan, bila jalur formal cukup lama, maka sebaiknya datang langsung saat Mendiknas ada di kantor. Karena itu, kami akan datang langsung ke Mendiknas," imbuh Agus, saat ditemui usai seminar.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 9 Juni 2005]

Wednesday, June 08, 2005

 

Peserta Setujui Draft Depsospol

# Lokakarya "Judicial Review PP BMHN" BEM UPI

SETIABUDHI-Lokakarya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengenai rumusan judicial review berhasil menyetujui sebagian besar draft yang telah disiapkan Departemen Sosial Politik (Depsospol) BEM UPI. Hingga sore kemarin, hanya poin pembiayaan yang masih dibahas 16 utusan organisasi kemahasiswaan di UPI.

"Kami masih merumuskan mengenai pembiayaan universitas dari unsur masyarakat. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tidak mengatur secara tegas," papar Agus Salim, Ketua BEM KM UPI saat ditemui Radar di gedung PKM UPI, kemarin.

Dalam pasal 11 PP Nomor 6 disebutkan, pembiayaan untuk pengelolaan dan pengembangan universitas berasal dari: (a) pemerintah; (b) masyarakat; (c) pihak luar negeri yang tidak mengikat; dan (d) usaha dan tabungan universitas. Selain dana dari pemerintah, PP sekaligus anggaran dasar (AD) UPI ini tidak menguraikan lebih lanjut dana yang disebutkan pada ayat (1) tersebut.

"Merujuk kepada PP Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, kami menyimpulkan, dana masyarakat adalah mahasiswa. Dikaitkan dengan pasal 13 PP Nomor 6 tahun 2004, kenapa mahasiswa tidak dimasukkan dalam kompoisisi Majelis Wali Amanat (MWA)?," tandas Agus. Ia juga menambahkan, pihaknya tetap menginginkan agar mahasiswa dan karyawan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan.

Sekretaris Depsospol BEM Ratna Fitria yang kemarin hadir bersama Agus menilai, pasal 13 dalam PP tersebut menunjukkan adanya praktek diskriminasi. Regulasi tersebut, kata Ratna, telah mengabaikan regulasi lainnya yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang.

"Penjabaran pasal 28 I UUD 1945 yang kemudian diuraikan dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM) menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yng bersifat diskriminatif. Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 6 tahun 2004 hanya mengakomodir sebagian pejabat. PP telah mendiskualifikasi mahasiswa, karyawan, serta stake holder lainnya. Dengan demikian, pasal tersebut sangat diskriminatif," tegas Ratna.

Bagian lain yang kemarin dilokakaryakan adalah mengenai senat akademik (SA). Lokakarya yang dihadiri utusan BEM FPIPS, BEM FPBS, Hima Ekonomi, dan Hima PGSD tersebut menyimpulkan, SA merupakan sistem keterwakilan. Representasi, demikian dalam simpulan lokakarya, adalah konsep bahwa seseoang atau suatu kelompok mempunyai kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok.

"Kondisi obyektif membuktikan tidak ada persidangan yang digelar untuk memutuskan siapa yang akan duduk sebagai SA. Tidak ada suatu badan atau komisi yang bertugas untuk memilih wakilnya. Pengangkatan anggota SA didasarkan pada Keputusan Rektor Nomor 6138/J.33/KL.00.02/2004 tanggal 29 Desember 2004. Ini menunjukkan sebuah permainan. Kedua pasal memperlihatkan, pembentukan SA dan MWA sarat dengan kepentingan pragmatis dari kelompok tertentu. Jika ini tetap dibiarkan, maka hal ini bisa melahirkan penguasaan UPI oleh sekelompok orang (oligarkhi)," tegas Ratna.

Rencananya, lokakarya masih akan dilanjutkan hari ini. Kemudian, hasil rumusan peserta akan dikonsultasikan kepada ahli hukum. Agus memastikan, pihaknya sudah memperoleh kesediaan dari salah seorang ahli hukum Universitas Padjajaran. Setelah alasan judiacial review dianggap kuat, barulah pihaknya akan membawa ke Mahkamah Agung (MA).(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 8 Juni 2005]
 

Pelaksanaan Sidang MWA Mendekati Kepastian

SETIABUDHI-Pelaksanaan sidang pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) oleh Majelis Wali Amanat (MWA) hampir bisa dipatikan akan digelar 20 Juni mendatang. Demikian dikatakan sekretaris MWA UPI Suwarma Al Muchtar saat dihubungi Radar, semalam.

Menurut Suwarma, waktu tersebut didasarkan pada kesediaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Sesuai peraturan pemerintah (PP) Nomor 61 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, unsur yang mewakili menteri yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi memiliki 35 persen hak suara dari seluruh suara yang sah. Demikian, peran menteri sangat signifikan dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi bertatus badan hukum milik negara (BHMN).

Meski menolak memberikan keterangan lebih jauh, Suwarma mengaku, kesepakatan waktu tersebut dicapai saat Mendiknas Bambang Sudibyo mengunjungi UPI, Selasa (19/4). "20 Mei merupakan waktu yang mendekati kepastian," kata Suwarma.

Sementara saat ditanya seputar keberadaan Ketua MWA UPI Abdul Gani, Suwarma mengaku terus berkoordinasi dengan petinggi maskapai penerbangan nasional tersebut. Terakhir ia melakukan kontak dengan Abdul Gani, Jum'at (3/6). "Beliau sudah mendapat laporan mengenai perkembangan proses pemeliharaan rektor," ujarnya sebelum meminta agar pembicaraannya di luar masalah waktu pelaksanaan sidang MWA dianggap tidak terjadi.

Di kalangan aktivis yang selama ini kerap menyuarakan nada kritis terhadap pemilihan rektor UPI berkembang rumor yang mengatakan adanya kemungkinan Mendiknas tidak akan menghadiri sidang MWA. Pihak ini pun mengkhawatirkan tetap dilangsungkannya sidang MWA meski tanpa kehadiran Menteri. Kemudian, sumber Radar ini memberikan sejumlah nomor kontak anggota senat akademik (SA) UPI yang menurutnya pernah mengatakan hal itu. Ada juga diantaranya nomor salah seorang anggota Komisi X DPR RI.

Menurut sumber tadi, Mendiknas pernah meminta kepada SA untuk mengubah komposisi SA dan MWA UPI. Dihubungi wartawan saat berlangsungnya sidang SA yang menetapkan tiga orang calon rektor, 26 Mei lalu, Fuad Abdul Hamied mengaku tidak mengetahui informasi itu. Fuad merupakan salah seorang anggota SA UPI yang juga salah seorang direktur kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).

"Saya belum berkomunikasi dengan Mendiknas mengenai komposisi MWA dan SA UPI. Sejauh yang saya ketahui belum ada pernyataan tertulis dari Mendiknas. Entah yang yang tidak saya ketahui. Secara lisan, saya belum pernah mendengar," ujar.

Menurutnya, MWA disahkan melalui Surat Keputusan Mendiknas. Sampai saat ini, kata Fuad, Mendiknas tetap menyetujui komposisi MWA UPI. Sementara itu, menanggapi adanya perbedaan suara di UPI mengenai komposisi SA dan MWA UPI, Fuad menganggap hal itu sebagai sebuah dinamika. Hal senada juga disampaikan Dirjen Dikti.

"Dirjen melihatnya biasa saja. Sebagai dinamika universitas. Di kampus lain juga muncul suara-suara berbeda," ujar Fuad. Kepada wartawan Fuad mengaku tidak mengetahui sikap Dirjen Dikti terhadap proses pemilihan rektor di UPI.

Saat ditanya apakah diperkenankan adanya perbedaan sikap antara Mendiknas dengan Dirjen Dikti? Fuad menjawab secara diplomatis. Menurut Fuad, Dirjen Dikti harus setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh Mendiknas. "Jawabanya memang diplomatis," ujarnya sambil tersenyum.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 7 Juni 2005]
 

Besok, BEM UPI Kaji Judicial Review

# FPMD Tolak Tuduhan Money Politics

BANDUNG-Rencana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk mengajukan judicial review Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN) tampaknya bukan isapan jempol belaka. Buktinya, Departemen Sosial Politik (Depsospol) BEM UPI memastikan akan melangsungkan lokakarya membahas pengajuan judicial review tersebut, besok.

Sekretaris Depsospol BEM UPI Ratna Fitria mengatakan hal itu saat mengunjungi kantor redaksi harian ini, akhir pekan lalu. Menurutnya, lokakarya yang akan digelar selama dua hari ini akan mengkaji secara intensif poin-poin dalam PP Nomor 6 tahun 2004 tersebut. Ratna memastikan pihaknya telah mengundang setiap pimpinan organisasi mahasiswa (Ormawa) untuk menghadiri lokakarya.

“Kami menolak dikatakan lamban dalam menyikapi kebijakan UPI. BEM UPI ingin mengambil langkah strategis dalam menyikapi pemilihan rektor maupun perubahan UPI menjadi PT BHMN beberapa waktu lalu. Dalam hal ini, kami mengambil sikap mengawal BHMN. Meski begitu, sikap ini terbuka untuk berubah. Menjadi menolak misalnya,” kata Ratna.

Kepada Radar mahasiswa jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) menegaskan, pelaksanaan lokakarya merupakan langkah nyata BEM dalam menyikapi kebijakan BHMN. Salah satu poin yang mendapat sorotan BEM dalam PP adalah Pasal 13 tentang Majelis Wali Amanat (MWA). Pihaknya menyayangkan tidak dimasukkannya unsur mahasiswa dalam organ universitas yang berfungsi untuk mewakili pemerintah dan masyarakat tersebut.

Dalam PP Nomor 6 tahun 2004 disebutkan, MWA beranggotakan 20 orang yang mewakili unsur menteri, senat akademik (SA), masyarakat, dan rektor. BEM UPI menilai, keterlibatan mahasiswa dalam MWA menjadi sangat penting artinya. Mahasiswa, kata Ratna, merupakan komponen universitas terbesar sehingga harus memiliki wakil di MWA. Selain mahasiswa, BEM UPI juga mengusulkan agar karyawan diberikan kesempatan untuk menempatkan wakilnya di lembaga tersebut.

“Pasal 13 merupakan salah satu pokok yang akan dikaji. Lokakarya akan mengkaji secara menyeluruh PP Nomor 6,” kata Ratna seraya menambahkan, pihaknya tetap menganggap adanya rangkap jabatan pimpinan dalam MWA berpeluang menimbulkan conflict of interest. Sebagai catatan, salah seorang dekan di UPI menjadi sekretaris MWA, Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, SH., M.Pd.

Padahal, PP Nomor 6 menyebutkan, Ketua dan Sekretaris MWA tidak dibenarkan memangku jabatan rangkap sebagai pimpinan atau jabatan struktural pada universitas, perguruan tinggi lain, instansi pemerintah, dan jabatan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan universitas. Mengacu kepada PP yang sama tentang ketentuan umum, dekan adalah pimpinan fakultas yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di fakultasnya.

Dengan demikian, terbuka kemungkinan munculnya conflict of interest seperti yang dikhawatirkan BEM. Maklum, secara administratif, fakultas merupakan unit kerja di bawah rektor. Sementara rektor dipilih oleh MWA. “Bagaimana jadinya bila dekan menjadi anggota MWA yang kemudian memilih rektor? Padahal, dekan merupakan pelaksana kebijakan rektor,” tandas Ratna.

Sementara itu, Forum Peduli Masa Depan (FPMP) UPI meminta agar pelaksanaan pemilihan rektor UPI ditangguhkan. Juru bicara FPMD Iik Nurulpaik mengatakan hal itu terkait dengan tidak demokratisnya mekanisme pemilihan rektor UPI saat ini. SA dan MWA UPI, kata Iik, lahir dari sebuah proses yang tidak demokratis. Orang yang duduk di dalamnya merupakan kelompok kepentingan yang menginginkan tetap bertahannya kekuasaan lama.

Di bagian lain, Iik juga menolak tudingan yang mengatakan FPMD berada di balik salah seorang calon rektor. FPMD, tegas Iik, tidak didorong oleh kepentingan untuk mengusung salah seorang calon manapun dalam konteks suksesi rektor UPI 2005-2010. FPMD, lanjut dia, berorientasi pada perbaikan sistem, budaya organisasi, manajemen kelembagaan yang kredibel, akuntabel, dan produktif.

“Terkait dengan anggapan dan pernyataan kelompok tertentu yang mengatakan FPMD berada di balik pencalonan Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd sama sekali tidak benar. Bahkan, isu yang mendiskreditkan FPMD dengan tuduhan money politics dari para calon rektor sama sekali tidak benar. Itu hanyalah fitnah yang kotor,” tegas Iik, kemarin.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 6 Juni 2005]
 

Beredar SMS Berantai Prakiraan Rektor UPI

# Sejumlah Aktivis dapat Kiriman Surat Kaleng

SETIABUDHI-Meski pelaksanaan sidang pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia belum diketahui secara pasti, namun prakiraan "formasi" pimpinan universitas tersebut mulai muncul. Prakiraan tersebut disampaikan melalui pesan singkat kepada sejumlah elemen universitas yang selama ini kerap menyuarakan suara kritis.

Short massage service (SMS) yang mulai muncul sejak terpilihnya tiga calon rektor oleh Senat Akademik (SA) UPI tersebut menyebutkan dua alternatif pimpinan universitas. Pertama, bila yang terpilih sebagai orang nomor satu tersebut Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA, maka Pembantu Rektor I (PR I) akan dipegang Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, SH, M.Pd.

Sementara PR II dan PR III masing-masing akan dipegang Drs. Samsul Hadi Senen, MM dan Dr. Ahmad Hufad. Ketiganya merupakan pimpinan unit kerja di lingkungan masing-masing. Suwarma merupakan Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), Samsul merupakan Pembantu Dekan (PD) II FPIPS, dan Hufad merupakan PD I Fakultas Ilmu Pendidikan.

Prakiraan kedua menyebutkan, bila yang terpilih menjadi rektor UPI adalah Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, maka yang akan mendampingi menjadi PR I adalah Prof. Dr. Chaidar Alwasilah. Sementara PR II dan III masing-masing Prof. Dr. Nanang Fatah dan Prof. Dr. Idrus Affandi. SMS tersebut juga menyebutkan tim sukses di kedua kubu tersebut.

Anehnya, SMS tersebut tidak menyebutkan "kabinet bayangan" manakala yang terpilih sebagai rektor adalah Dr. Amung Ma'mun, M.Pd. Dalam pemilihan calon rektor oleh SA, 19 Mei lalu, Dekan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan ini hanya mengantongi satu suara. Sementara Said dan Sunaryo mengantongi suara yang sama, masing-masing 17 suara.

Menanggapi peroleh suara, Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI menilai pemilihan rektor UPI sebagai bentuk pertarungan dua kubu kekuasaan. Pimpinan organisasi mahasiswa (Ormawa) UPI tampaknya tidak ambil pusing dengan hasil pemilihan tersebut. Hasil rapat konsolidasi, Rabu (1/6), ,mereka tetap akan menolak siapapun yang terpilih menjadi rektor.

Seperti yang ditulis harian ini kemarin, Ketua BEM FPIPS Apudin mengatakan, penolakan pemilihan rektor merupakan konsekuensi dari penolakan mereka terhadap status UPI menjadi perguruan tinggi menjadi badan hukum milik negara (PT-BHMN). Karena itu, pihaknya akan menolak siapapun rektor yang akan terpilih. Apudin juga berencana untuk mengajukan langkah hukum berupa "judicial review" terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI menjadi PT-BHMN.

Nah, selain beredar SMS berantai, menjelang sidang Majelis Wali Amanat (MWA), sejumlah aktivis menerima kiriman surat kaleng. Salinan surat yang berhasil diperoleh Radar, surat bertajuk "Obat Bete Ala FPMD" tersebut menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa bagian meniru bahasa Rusia. Gaya Rusia juga digunakan untuk menyebut tiga orang yang muncul dalam surat tersebut.

Isi satu lembar surat tersebut pada intinya mendiskreditkan keberadaan FPMD. Surat tersebut juga memplesetkan FPMD menjadi Front Pembela Manusia Dajal. Muncul dalam surat tersebut sejumlah nama yang identik dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Aidit dan Muso.
Dihubuni secara terpisah, anggota presidium yang namanya muncul dalam surat yang dikirim langsung ke rumahnya, Cecep Dharmawan, menilai sebagai perbuatan yang memalukan dan melanggar norma susila, agama, dan hukum.

"Kalimat dan kata-katanya sungguh amat menghina. Seperti dibuat oleh orang yang tidak terdidik dan mengabaikan sopan santun keagamaan maupun moralitas masyarakat. Bahkan, surat itu sudah menodai kampus UPI itu sendiri," ujar Cecep, kemarin.

Kepada Radar mengaku tidak akan menuduh siapa di balik pengiriman surat tanpa alamat pengirim tersebut. Cecep sendiri menganggap hal itu sebagai resiko dari pendiriannya yang selama ini tetap kritis menyikapi kebijakan universitas.

"Dalam teori politik, memang mengusung perubahan itu akan berhadapan dengan kelompok yang pro status quo. Dan, kelompok itu bisa saja meng-counter segala isu yang merugikannya dengan berbagai cara. Meski begitu, kami tidak ingin menuduh surat kaleng tersebut dikirim yang pihak yang selama ini dikritisi oleh FPMD," imbuh Cecep.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 3 Juni 2005]
 

Ormawa UPI Pilih Jalan Terus

# Apudin: BEM UPI Lamban!

SETIABUDHI-Sejumlah pimpinan organisasi kemahasiswaan (Ormawa) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bertekad terus melakukan gerakan penolakan terhadap pemilihan rektor. Hal itu mengemuka saat berlangsungnya rapat konsolidasi pimpinan ormawa UPI, kemarin.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Apudin yang kemarin ikut hadir mengaku akan terus melaju meski BEM UPI belum menunjukkan sikap tegas. Hal senada juga dikatakan Ketua Unit Kegiatan Sosial Kemasyarakatan (UKSK) UPI Jaffar Sidik.
"Kami menyayangkan sikap BEM UPI. Mereka lamban dalam mengambil keputusan strategis terkait dengan pemilihan rektor. Dalam rapat, Ketua BEM UPI pihaknya baru berencana melakukan rapat pembahasan dengan pengurus lainnya," sesal Apudin, kemarin.
Kepada Radar Apudin mengatakan, penolakan pemilihan rektor merupakan konsekuensi dari penolakan mereka terhadap status UPI menjadi perguruan tinggi menjadi badan hukum milik negara (PT-BHMN). Karena itu, pihaknya akan menolak siapapun rektor yang akan terpilih. Apudin juga berencana untuk mengajukan langkah hukum berupa "judicial review" terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI menjadi PT-BHMN.
"Kami terus mempelajari regulasi tentang penetapan UPI menjadi BHMN. Judicial review ditujukan untuk seluruh materi PP Nomor 6 2004 tersebut. Langkah jangka pendek, kami akan melakukan aksi turun ke jalan bertepatan dengan pelaksanaan sidang penetapan rektor oleh MWA (Majelis Wali Amanat)," tandas Apudin.
Pimpinan ormawa yang menjadi terkenal setelah melayangkan surat penolakan UPI menjadi BHMN kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), dan anggota MPR/DPR ini menegaskan kesiapannya untuk menggelar aksi hingga ke Jakarta. Ini terkait dengan kemungkinan dilangsungkannya sidang MWA di Jakarta.
"Pimpinan ormawa akan terus mengkaji kapan dan dimana aksi akan digelar. Bila ternyata hasil kesepakatan menganggap cukup dilaksanakan di kampus, kami akan melaksanakannya di kampus. Namun, bila kesepakatan nanti menggap aksi perlu dilaksanakan di Jakarta, kami siap. Pokoknya, aksi akan dilakukan bertepatan dengan pelaksanaan sidang MWA," kata Apudin.
Menurut Apudin, sejumlah ormawa yang menyatakan kesiapannya untuk melakukan aksi bersama diantaranya UKSK, BEM FPIPS, BEM FPBS, dan himpunan mahasiswa tingkat jurusan di kedua fakultas tersebut.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Apudin menyesalkan pernyataan yang ditandatangani pimpinan ormawa tingkat jurusan di fakultasnya beberapa waktu lalu.
Surat yang ditandatangani empat ketua himpunan mahasiswa di lingkungan FPIPS tersebut menyebutkan: (1) Tidak trlibat dan tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan surat pernyataan tersebut yang ditandatangani secara pribadi oleh Saudara Apudin; (2) Tidak setuju dengan isi pernyataan sikap yang dikeluarkan BEM GEMA FPIPS; dan (3) Sangat menyesal dengan pernyataan sikap tersebut yang tidak melibatkan para pimpinan Ormawa yang ada di lingkungan FPIPS UPI.
Sementara itu, portal berita milik Unit Pers Mahasiswa UPI menyebutkan, Yusnawan, kolega Apudin di BEM FPIPS, menolak dirinya dianggap tidak dilibatkan dalam pembuatan surat tersebut. Ihwal tidak adanya tanda tangan dirinya sebagai sekretaris umum, hal itu telah sesuai dengan prosedur adminitrasi yang dianutnya. Surat eksternal, kata Yusnawan, cukup ditandatangani ketua, yakni Apudin.
Bantahan serupa juga dikatakan Muhtolib, pengurus BEM FPIPS lainnya yang ditemui wartawan di sela berlangsungnya "public hearing" di Balai Pertemuan UPI, 19 Mei lalu. "Bagaimana mungkin surat itu merupakan pernyataan saya. Surat tersebut dikeluarkan bersama oleh BEM FPIPS, " kata Muhtolib.
Untuk menjernihkan masalah, kemudian Yusnawan meminta Pembantu Dekan I FPIPS Aim Abdulkarim agar surat yang dilayangkan BEM GEMA FPIPS kepada Mendiknas segera diklarifikasi secara tuntas. Caranya, dengan menghadirkan seluruh pengurus BEM GEMA FPIPS termasuk Apudin, tidak satu-satu dan acak seperti yang telah terjadi sebelumnya.
Menanggapi permohonan itu, Aim menolaknya dengan tegas. “Menurutnya (Aim Abdulkarim) semua masalah telah clear. Pak Aim tetap pada kesimpulan sebelumnya bahwa surat itu adalah surat kepentingan personal saja. Dalam hal ini adalah kepentingan Apudin,” papar Yusnawan kepada Isola Pos Online seperti dilansir dalam situsnya pada URL http://isola-pos.upi.edu.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 2 Juni 2005]
 

SA Tidak Akan Tanggapi FPMD

# Asmawi: Belum Ada Kepastian Sidang Pemilihan Rektor

SETIABUDHI-Ketua Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed. menilai pernyataan yang dilontarkan aktivis Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI sebagai pernyataan politis. Karena itu, pihaknya menganggap tidak perlu memberikan tanggapan maupun mengadakan dialog khusus dengan elemen universitas yang kerap menyuarakan nada kritis tersebut.

"SA merupakan lembaga normatif tertinggi di bidang akademik. Kami membicarakan akademik, tidak mengurusi masalah politik. Jadi, kalau mereka (FPMD, red) memberikan pernyataan-pernyataan politik, kami tidak perlu menanggapinya. Tidak penting memberikan tanggapan kepada mereka," kata Asmawi, kemarin.

Menanggapi sorotan FPMD mengenai tidak demokratisnya sistem pemilihan SA, Asmawi menilai hal itu terjadi karena adanya perbedaan persepsi antara SA dengan FPMD mengenai demokrasi dalam dunia akademik. Dan SA, kata Asmawi, tidak mempermasalahkan hal itu.

Sebelumnya, salah seorang anggota presidium FPMD UPI Cecep Dharmawan menilai dengan sinis pernyataan bahwa SA bukan lembaga politik. Menurutnya, pimpinan universitas terus menjalankan praktik politik dalam menjalankan roda universitas.

Sementara itu, menanggapi rumor yang menyatakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tidak akan menghadiri sidang Majelis Wali Amanat (MWA) untuk memilih rektor UPI, Asmawi mengaku tidak mengetahui adanya informasi itu. "Tidak ada informasi itu. Dari mana datangnya," ujar Asmawi dengan nada meninggi.

Menurut Ketua Panitia Pemilihan Rektor UPI ini, sidang untuk menetapkan calon rektor UPI periode 2005-2010 masih harus menunggu kepastian dari Ketua MWA UPI Abdul Gani. Asmawi sendiri mengaku belum memperoleh kepastian pelaksanaan sidang tersebut. Saat ini, Abdul Gani tengah berada di luar negeri.

"Kami belum mendapat kepastian sidang. Kami memprakirakan sidang akan dilaksanakan tanggal 20 bulan ini. Panitia masih menunggu kepastian waktu dan tempat dari Ketua MWA," kata Asmwi seraya menambahkan dirinya melakukan kontak terakhir dengan Abdul Gani sebelum keberangkatannya ke luar negeri.

Asmawi yang juga Direktur Program Pasca Sarjana UPI juga mengaku belum memperoleh informasi kapan kepulangan Abdul Gani ke tanah air. Dengan prakirakan sidang digelar 20 Juni mendatang, maka agenda pemilihan rektor UPI akan molor. Semula, panitia mengagendakan pelantikan rektor UPI terpilih akan dilakukan 15 Juni mendatang.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 1 Juni 2005]
 

Polemik SA dan MWA Terus Mengemuka

SETIABUDHI-Di tengah berlangsungnya proses pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) masa bakti 2005-2010, wacana seputar komposisi Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik (SA) belum juga usai. Suara-suara kritis tersebut terutama datang dari dua elemen universitas yang selama ini memang dikenal kerap memberikan pernyataan-pernyataan yang berseberangan dengan pimpinan universitas, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI.

Setelah sebelumnya menyatakan penolakan terhadap komposisi SA dan MWA, FMPD juga mengaku memperoleh bocoran informasi mengenai adanya perintah Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk merombak susunan MWA dan SA UPI. Juru bicara FPMD Iik Nurulpaik mengatakan, dalam beberapa kesempatan Mendiknas pernah mengemukakan hal itu. Sayangnya, Iik tidak menyebutkan kapan dan dimana Mendiknas mengatakan hal itu.

Selain itu, Iik juga mengaku mendapat bocoran informasi dari salah seorang anggota SA UPI mengenai adanya pesan dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Satryo Soemantri Brodjonegoro melalui salah seorang direktur kelembagaannnya. Menurut Iik, Prof. Dr. Fuad Abdul Hamid, direktur kelembagaan Dirjen Dikti menyampaikan pesan saat berlangsungnya sidang SA, Jum'at (20/5).

"Saya membawa pesan dari Dirjen Dikti untuk SA UPI agar merombak susunan SA dan MWA UPI," ujar Iik menirukan ucapan Fuad. Fuad Abdul Hamid yang ditemui wartawan usai sidang penetapan tiga calon rektor UPI, Kamis (26/5), menolak dirinya pernah menyampaikan hal itu.

"Saya belum berkomunikasi dengan Mendiknas mengenai komposisi MWA dan SA UPI. Sejauh yang saya ketahui belum ada pernyataan tertulis dari Mendiknas. Entah yang yang tidak saya ketahui. Secara lisan, saya belum pernah mendengar," ujar Fuad yang juga anggota SA UPI.

Menurutnya, MWA disahkan melalui Surat Keputusan Mendiknas. Sampai saat ini, kata Fuad, Mendiknas tetap menyetujui komposisi MWA UPI. Sementara itu, menanggapi adanya perbedaan suara di UPI mengenai komposisi SA dan MWA UPI, Fuad menganggap hal itu sebagai sebuah dinamika. Hal senada juga disampaikan Dirjen Dikti.

"Dirjen melihatnya biasa saja. Sebagai dinamika universitas. Di kampus lain juga muncul suara-suara berbeda," ujar Fuad. Kepada wartawan Fuad mengaku tidak mengetahui sikap Dirjen Dikti terhadap proses pemilihan rektor di UPI.

Saat ditanya apakah diperkenankan adanya perbedaan sikap antara Mendiknas dengan Dirjen Dikti? Fuad menjawab secara diplomatis. Menurut Fuad, Dirjen Dikti harus setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh Mendiknas. "Jawabanya memang diplomatis," ujarnya sambil tersenyum.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 28 Mei 2005]
 

Amung, Hamid, Sunaryo Melaju ke "Final"

# Unjuk Rasa dan Pengusiran Warnai Sidang SA UPI

SETIABUDHI-Seperti yang banyak diduga sejumlah kalangan, akhirnya sidang Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang digelar kemarin menetapkan tiga pejabat UPI untuk melaju ke fase berikutnya pemilihan rektor UPI periode 2005-2010. Ketiga orang tersebut masing-masing Pembantu Rektor I UPI Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA, Pembantu Rektor II UPI Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., dan Dekan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Dr. Amung Ma'mun, M.Pd.

Hamid dan Sunaryo mengantongi suara yang sama, masing-masing 17 suara. Sementara Amung hanya berhasil menggaet satu suara dari 35 orang anggota SA yang memiliki hak suara. Tiga anggota SA yang tidak memiliki hak suara merupakan bakal calon rektor (balon) rektor itu sendiri. Prof. Dr. Sutjipto, rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang dinilai sejumlah kalangan memiliki kapabilitas untuk memimpin UPI lima tahun ke depan ikut terpental bersama empat kandidat lainnya.

Sidang SA yang dimulai sekitar pukul 08:00 ini juga sempat diwarnai pengusiran terhadap dua orang dosen yang hendak mengikuti jalannya sidang SA. Johar Permana dan Surya Dharma, dua orang yang semat diusir ketua panitia pemilihan rektor UPI Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed mengaku tidak mempermasalahkan pengusiran itu. Kedatangannya ke Gedung Bumi Siliwangi karena dirinya mengetahui sidang SA tersebut terbuka untuk umum.

Asmawi yang memberikan keterangan kepada wartawan seusai sidang mengatakan, pengusiran kepada dua orang dosen didasarkan pada asas keadilan. Ruang sidang yang sempit, kata Asmawi, tidak memungkinkan untuk menampung lebih banyak manusia. Karena itu, pihaknya tidak mengundang unsur lain di luar anggota SA dan balon rektor.

Ketika disinggung alasan penggunaan ruang rapat yang terbilang sempit, Asmawi berkilah, ruang tersebut merupakan tempat yang sangat bersejarah di UPI. Selain hampir setiap keputusan penting UPI ditetapkan di sana, ruang berbentuk lonjong di lantai empat Gedung Bumi Siliwangi tersebut sempat dijadikan "pengungsian" mahasiswa dan sejumlah dosen saat berkecamuknya politik di akhir Orde Lama.

"Ini pemilihan rektor pertama UPI oleh SA, momen yang sangat bersejarah. Jadi, harus dilaksanakan di tempat bersejarah. Selama ini, semua keputusan penting di UPI diputuskan di tempat ini," kata Asmawi yang juga salah seorang guru besar di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI ini.

Kepada wartawan Asmawi menjelaskan, proses pemilihan berjalan lancar sesuai rencana. Dia menilai setiap anggota SA memberikan apresiasi obyektif terhadap enam kandidat yang kemarin memaparkan kertas kerjanya. Sementara Mukhidin, seorang balon rektor yang tidak hadir, tidak ada pembacaan terhadap kertas kerja yang bersangkutan.

"Pemilihan dilakukan secara 'one man one vote'. Jadi, walaupun setiap anggota SA memberikan apresiasi positif, namun mereka tetap harus menentukan satu nama untuk dipilih," terang Asmawi.

Menurut Asmawi, tiga calon rektor hasil sidang SA akan disampaikan kepada Majelis Wali Amanat (MWA) UPI dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam surat tersebut akan dilampirkan surat keputusan (SK) SA mengenai tiga nama calon rektor. Dalam berkas yang sama, SA juga akan melampirkan berita acara penetapan calon. Asmawi mengaku belum bisa memastikan kapan waktu penyerahan tersebut.

Mengacu kepada jadwal yang ditetapkan semula, pemilihan rektor oleh MWA akan dilangsungkan 6-8 Juni mendatang. Dengan demikian, semestinya penyerahan calon rektor sebelum waktu tersebut. Namun, Asmawi memprakirakan, sidang MWA akan diundur. MWA sendiri, lanjut dia, diprakirakan baru akan melangsunkan sidang pada 20 Juni mendatang. Padahal, jadwal semula menetapkan, 15 Juni merupakan pelantikan rektor UPI terpilih.

"Yang menetapkan tempat dan waktu pemilihan rektor adalah ketua MWA. Kami tidak tahu apakah pemilihan dilakukan di Bandung atau di Jakarta. Kalau UGM, ITB, USU di Jakarta. Ini terkait dengan keanggotaan Menteri Pendidikan Nasional. Meski begitu, kami sebenarnya pemilihan dilakukan di gedung yang juga memiliki sejarah (Bumi Siliwangi, red)," kata Asmawi.

Menanggapi hasil pemilihan tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI menegaskan kembali sikapnya untuk menolak hasil pemilihan balon rektor menjadi calon rektor oleh SA. Beberapa saat setelah sidang berlangsung, Ketua BEM UPI dan sejumlah pengurus lainnya menggelar unjuk rasa di depan pintu masuk Gedung Bumi Siliwangi. Sejumlah petugas keamanan dan anggota Menwa UPI terlihat mengawasi aksi yang berlangsung sekitar 30 menit tersebut.

"Aksi yang kami gelar ingin kembali menegaskan penolakan mahasiswa UPI terhadap proses pemilihan rektor UPI. Ketika muncul tiga nama, kami tidak mempermasalahkan hal itu. Kami menolak mekanisme pemilihan yang tidak demokratis. Konsekuensinya, kami akan menolak kebijakan rektor hasil pemilihan SA dan MWA," tandas Agus Salim, Ketua BEM UPI.

Sementara itu, Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI yang setia menunggu jalannya sidang SA mengakui mulai munculnya obyektivitas dalam pemilihan calon rektor oleh SA. Kemunculan suara kembar antara Hamid dan Sunaryo sendiri menunjukkan lekatnya nuansa pertarungan antara dua kubu kekuasaan di UPI.

"Obyektivitas calon memang tidak jadi ukuran. Di sini, tampak kepentingan politik lebih dominan ketimbang obyektivitas itu sendiri. Sementara keluarnya calon dari dalam, saya kira hal itu terjadi di semua perguruan tinggi BHMN," kata Iik Nurulpaik.

Menanggapi alasan pemilihan tempat berlangsungnya sidang, juru bicara FPMD ini menilai, hal itu mengada-ada. Alasan historik, kata Iik, sungguh tidak kredibel. Padahal, jika benar SA mengusung semangat demokratis dan transparansi, maka tidak akan terjadi pengusiran karena alasan sempitnya ruangan.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 27 Mei 2005]
 

Hari Ini, SA Tentukan 3 Calon Rektor UPI

# BEM UPI dan FPMD Khawatirkan Money Politics

SETIABUDHI-Proses pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memasuki fase penentuan calon rektor. Calon tersebut akan dipilih dari tujuh bakal calon (balon) menjadi tiga orang calon dalam sebuah sidang Senat Akademik (SA) yang digelar di ruang rapat Gedung Bumi Siliwangi lantai 4, hari ini. Demikian dikatakan ketua panitia pemilihan rektor UPI Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed saat ditemui Radar di ruang kerjanya, kemarin.

Asmawi yang juga Ketua SA UPI memastikan ketujuh bakal calon rektor yang beberapa waktu lalu memaparkan kertas kerjanya di hadapan civitas akademika akan hadir, hari ini. Dia optimis seluruh anggota SA UPI yang berjumlah 38 orang akan menghadiri acara yang berencana dimulai pukul 08:00 tersebut. Menurutnya, meskipun terdapat anggota SA yang berhalangan hadir, namun SA tetap akan melangsungkan pemilihan calon rektor.

Mengenai penentuan tiga nama, kata Asmawi, hal itu didasarkan pada hasil rapat SA yang digelar Jum'at (20/5) lalu. "Peraturan yang ditetapkan oleh MWA memberikan 'range' antara tiga sampai lima orang. Saat opsi itu ditawarkan kepada anggota SA, mereka sepakat untuk menentukan tiga nama, tidak lima," terang Asmawi.

Penentuan tempat dilangsungkannya rapat, lanjut Asmawi, didasari atas keinginan untuk memberikan nuansa historik. Gedung Bumi Siliwangi sendiri merupakan salah satu gedung bersejarah di Bandung Metropolis. Sebelum berubah nama, bangunan yang dibangun pada awal dasawarsa 1920 tersebut bernama Villa Isola. Hingga saat ini, bentuk fisik bangunan bergaya art deco ini masih utuh.

"Ini pemilihan rektor pertama UPI oleh SA, momen yang sangat bersejarah. Jadi, harus dilaksanakan di tempat bersejarah. Selama ini, semua keputusan penting di UPI diputuskan di tempat ini," kata Asmawi yang juga salah seorang guru besar di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI ini.

Secara teknis, setiap balon rektor akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan kembali kertas kerjanya selama 10 menit di hadapan anggota SA. Setelah itu, anggota SA diperkenankan untuk menyampaikan pertanyaan. Sidang akan berlangsung secara panel. Karena setiap anggota SA diperkirakan akan menyampaikan pertanyaan secara mendalam, Asmawi memperkirakan sidang akan berlangsung cukup panjang. Ia sendiri mengaku tidak bisa memastikan apakah sidang akan berakhir hari itu juga atau ditunda.

"Rencana semula, sidang akan dilakukan secara marathon. Tapi, kami tidak tahu apakah selesai satu hari atau tidak. Saya tidak bisa memastikan," kata pria yang seluruh rambutnya sudah memutih ini.

Kepada Radar Asmawi mengatakan, tiga calon rektor hasil sidang SA akan disampaikan kepada Majelis Wali Amanat (MWA) UPI dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam surat tersebut akan dilampirkan surat keputusan (SK) SA mengenai tiga nama calon rektor. Dalam berkas yang sama, SA juga akan melampirkan berita acara penetapan calon. Asmawi mengaku belum bisa memastikan kapan waktu penyerahan tersebut.

Mengacu kepada jadwal yang ditetapkan semula, pemilihan rektor oleh MWA akan dilangsungkan 6-8 Juni mendatang. Dengan demikian, semestinya penyerahan calon rektor sebelum waktu tersebut. Namun, Asmawi memprakirakan, sidang MWA akan diundur. MWA sendiri, lanjut dia, diprakirakan baru akan melangsunkan sidang pada 20 Juni mendatang. Padahal, jadwal semula menetapkan, 15 Juni merupakan pelantikan rektor UPI terpilih.

"Yang menetapkan tempat dan waktu pemilihan rektor adalah ketua MWA. Kami tidak tahu apakah pemilihan dilakukan di Bandung atau di Jakarta. Kalau UGM, ITB, USU di Jakarta. Ini terkait dengan keanggotaan Menteri Pendidikan Nasional. Meski begitu, kami sebenarnya pemilihan dilakukan di gedung yang juga memiliki sejarah (Bumi Siliwangi, red)," kata Asmawi.

Sementara itu, dua lembaga yang selama ini bersikap kritis terhadap proses pemilihan UPI, Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI mengkhawatirkan terjadinya politik uang (money politics) dalam pemilihan. Keduanya menilai, kemungkinan untuk terjadinya praktik kotor itu cukup terbuka. Karena itu, mereka menghimbau agar anggota SA menggunakan nurani dalam pemilihan calon rektor tersebut.

"Jangan ada money politic dan serangan fajar. Kedepankan nurani dan suara publik di media dan civitas akademika," demikian bunyi pesan singkat yang diterima Radar dari salah seorang anggota FPMD, kemarin. Ketua BEM UPI Agus Salim mengaku menyiapkan tim khusus menengarai adanya sinyalemen ini.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 26 Mei 2005]
 

FPMD UPI Desak SA Perhatikan Suara Publik

SETIABUDHI-Forum Peduli Masa Depan Universitas Pendidikan Indonesia (FPMD UPI) mendesak anggota Senat Akademik (SA) untuk mendengarkan suara-suara yang datang dari masyarakat luas. Disamping itu, lembaga yang digagas sejumlah dosen yang kerap menyuarakan suara-suara kritis terhadap kebijakan universitas ini juga menghimbau anggota SA untuk menggunakan nurani masing-masing dalam menentukan calon rektor.

“Kami mohon dengan segala kerendahan hati dan tanggung jawab nurani kepada seluruh anggota SA untuk mempertimbangkan suara civitas akademika, karyawan, dan masyarakat luas. SA juga harus segera melakukan pemilihan ulang terhadap seluruh anggota MWA melalui proses dan mekanisme yang transparan, kredibel, dan tidak akal-akalan,” tegas Cecep Dharmawan, anggota presidium FPMD, kemarin.

Komposisi SA dan Majelis Wali Amanat (MWA) saat ini, kata Cecep, disinyalir kental dengan adanya dominasi kelompok kepentingan tertentu. Akhirnya, proses yang dilakukan tidak memiliki makna apapun bagi semangat membangun UPI. Yakni, semangat demokratisasi, transparansi, kompetisi, partisipasi, akuntabilitas, dan sebagainya. Secara tertulis, pernyataan Cecep ini tertuang dalam 10 poin mengenai alasan protes FPMD yang ditandatangani salah seorang presidiumnya, Johar Permana.

“Saudaraku! Persoalannya bukan semata-mata perdebatan jabatan struktural atau non struktural seperti pernyataan Ketua SA Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed., tetapi persoalan ketidakpatutan yang dipertontonkan orang tua kita. Guru-guru kita yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kepatutan, norma-norma, keberanian, dan lain-lain. Kini, saatnya kita menjalankan apa yang mereka ajarkan pada kita,” lanjut dosen di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) ini.

Pria yang mengaku tidak tahan untuk terus berdiam diri menyikapi kondisi UPI ini mengatakan, SA dan MWA seyogyanya dipilih melalui proses fit and proper test. Hal ini sejalan dengan dengan semangat pembangunan UPI sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Lebih jauh ia menilai, pembentukan SA dan MWA sarat dengan kepentingan pragmatis dari kelompok tertentu yang selama ini menjadi inner cycle di UPI.

Fenomena ini, kata dia, telah melahirkan penguasaan UPI oleh sekelompok elit. Inilah yang sebelumnya pernah dikatakan Cecep sebagai bentuk oligarki kekuasaan di almamaternya. Dalam pelaksanaannya, sistem ini kerap mengabaikan prinsip-prinsip normatif yang seharusnya dibangun dan dijadikan acuan dalam manajemen kelembagaan UPI sebagai organisasi moderen.

Menyoroti adanya rangkap jabatan, Cecep memiliki kesan, UPI seakan-akan kekurangan sumber daya manusia (SDM). Padahal, masih banyak potensi SDM di UPI yang belum diberdayakan. Cecep yang pernyataannya di depan balon rektor UPI beberapa waktu lalu mendapat komentar positif dari Popong Otje Djunjunan mempertanyakan bisa berjalannya fungsi manajerial secara sehat manakala sejumlah jabatan dikendalikan oleh orang yang sama. Popong sendiri merupakan anggota MWA UPI dari unsur masyarakat.

Di bagian lain, FPMD juga mempertanyakan kiprah Ikatan Alumni (IKA UPI). Dalam pernyataan yang disampaikan bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei lalu ini menilai pengelolaan IKA tidak professional. IKA, demikian menurut FPMD, cenderung dikendalikan untuk kepentingan tertentu. Organisasi yang saat ini dipimpin salah seorang balon rektor UPI, Prof. Dr. Said Hamid Hasan, tidak bisa berbuat banyak menyikapi guru bantu yang nota bene banyak melibatkan alumni UPI.

Sinyalemen adanya dana abadi yang dimiliki UPI juga tidak luput dari perhatian FPMD. Menurut Cecep, UPI harus mengungkapkan kepada publik ihwal besarnya jumlah dana, asal keberadaan, penggunaan, pengelola, serta pertanggungjawabannya. “Jangan sampai kasus yang terjadi di lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) menimpa lembaga kita, UPI tercinta yang kita bangun bersama,” ujar Cecep tanpa menjelaskan kasus yang terjadi di KPU tersebut.

Pernyataan lain yang disampaikan FPMD secara tertulis menyoroti sejumlah permasalahan yang sebelumnya pernah ditulis harian ini. Menariknya, pernyataan sebanyak tiga halaman tersebut dilengkapi dengan dasar hukum yang ditulis secara terpisah. Dasar hukum berkisar pada Undang-Undang Dasar 1945 hingga Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Regulasi lain yang dirujuk FPMD adalah Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 25 Mei 2005]
 

BEM UPI Siap “Goyang” Sidang MWA

# FPMD: Bubarkan SA dan MWA

SETIABUDHI-Badan eksekutif Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (BEM UPI) berencana “menggoyang” sidang penetapan calon rektor oleh Senat Akademik (SA) maupun penetapan rektor oleh Majelis Wali Amanat (MWA). Hal itu dikatakan Ketua BEM UPI Agus Salim menyikapi gagalnya rencana awal BEM mengajukan kontrak politik kepada bakal calon (balon) rektor UPI, pekan lalu.

Kepada Radar Agus mengatakan, saat ini pihaknya terus membangun konsolidasi secara massif di kalangan organisasi mahasiswa (ormawa). Agus mengakui ihwal banyaknya mahasiswa UPI yang masih apatis menyikapi pemilihan orang nomor satu di kampusnya tersebut. Karena itu, BEM UPI terus berupaya memanaskan konstelasi gerakan mahasiswa.

“Ormawa UPI tetap menolak proses pemilihan rektor saat ini. Pemilihan oleh MWA tidak merepresentasikan mahasiswa UPI. MWA bukan orang-orang UPI. Kami akan mengadakan aksi bertepatan dengan sidang pemilihan rektor oleh MWA. Atau, pada saat penetapan lima calon oleh SA. Aksi ini akan diikuti sekitar 50 aktivis ormawa di UPI,” tegas Agus, kemarin.

Agus juga menilai pelaksanaan public hearing beberapa waktu lalu hanya menjadi ajang sosialisasi dari para balon rektor. Peserta yang hadir pada acara tersebut tidak akan dilibatkan dalam pemilihan secara langsung. Apalagi, partisipasi mahasiswa saat itu masih minim.

Agus juga memberikan pendapat seputar polemik pimpinan antara pimpinan BEM Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) dengan pimpinan himpunan mahasiswa di tingkat jurusan. Cuma saja, Agus meminta agar beberapa bagian dalam pembicaraannya tidak dimasukan dalam berita. Ia mengaku akan terus membangun konsolidasi dengan semua pimpinan mahasiswa di UPI.

Pemanasan konstelasi juga tidak hanya dilakukan pimpinan ormawa, sejumlah elemen universitas yang tergabung dalam Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI kembali mendesak perlunya proses pemilihan rektor UPI dilakukan secara demokratis. Dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Radar kemarin, FPMD mendesak untuk membubarkan keanggotaan SA dan MWA UPI. Pernyataan tersebut ditandatangani Drs. Johar Permana, MA.

“Rektor UPI yang saat ini masih menjabat harus segera membentuk tim khusus yang kredibel. Tim tersebut merupakan usulan setiap jurusan termasuk unsur mahasiswa dan karyawan. Orang-orang tersebut sebelumnya harus disumpah secara terbuka di hadapan civitas akademika,” tegas Johar.

Lebih jauh FPMD menjelaskan, tim khusus tersebut bekerja untuk menjalankan mekanisme pemilihan anggota SA dan MWA secara terbuka. Keanggotaan SA, lanjut Johar, harus diumumkan kepada segenap civitas akademika. Sementara rekruitmen MWA, FPMD mendesak agar diumumkan melalui media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Prosesnya sendiri harus dilaksanakan secara netral, transparan, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selanjutnya, MWA yang telah dipilih secara demokratis membentuk panitia khusus untuk membantu kelancaran tugas-tugas kelembagaan MWA dalam pemilihan rektor. Seperti halnya pemilihan SA dan MWA, pemilihan rektor juga harus dilakukan secara netral dan profesional.

Menilai keanggotaan SA dan MWA UPI saat ini, FPMD menegaskan, keanggotaan MWA cacat moral. Karena, salah seorang anggotanya M. Soleh Tasrifan telah masuk penjara Kejaksaan Agung terkait dengan korupsi kredit macet di Bank Mandiri. Secara umum, FPMD menilai telah terjadi politicking dalam penetapan SA dan MWA.

“Anggota SA dan MWA ditetapkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Siapa-siapa yang harus jadi SA dan MWA sudah diatur sedemikian rupa. Anggota SA dan MWA sekarang adalah ‘olahan’ mereka,” tulis FPMD. Selain pernyataan di atas, FPMD juga menuangkan 10 alasan mereka untuk protes terhadap kebijakan UPI.

Sementara itu, Sekretaris MWA UPI Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, SH., M.Pd. mengaku, MWA tidak mempermasalahkan status Soleh Tasrifan. Kepada Isola Pos, Suwarma mengatakan, MWA tetap mengacu kepada anggaran dasar universitas. Keanggotaan MWA berakhir saat yang bersangkutan mengundurkan diri atau mendapat putusan tetap melalui pengadilan. Soleh Tasrifan, kata Suwarma, masih menjadi tersangka, sehingga belum terbukti melakukan kesalahan.

Dekan FPIPS ini juga menolak anggapan pemilihan MWA dilakukan secara tertutup. Menurutnya, proses seleksi calon anggota MWA berlangsung alot. Tasrifan sendiri, lanjut Suwarma, merupakan sosok yang pintar dan taat beragama. Saat itu, Tasrifan mengaku tidak langsung bersedia menjadi anggota MWA.

“Saya harus mikir dulu. Apakah saya punya waktu atau tidak untuk UPI. Oleh karena itu, mohon dipelajari,” ujar Suwarma menirukan ucapan Tasrifan.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 24 Mei 2005]
 

Mahasiwa Terus “Digoyang”

*Aim: Pemanggilan itu Biasa

SETIABUDHI-Beberapa hari menjelang penentuan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), suasana kampus Bumi Siliwangi terus “menghangat”. Suara mahasiswa pun tidak bisa dikatakan sama. Pasalnya, setiap komponen mahasiswa menolak klaim suara-suara yang dilontarkan sejumlah pimpinan organisasi kemahasiswaan sebagai representasi kelompoknya.

Soal perbedaan suara mahasiswa, sejumlah pimpinan unit kerja juga disinyalir terlibat di dalamnya. Di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) misalnya. Tidak lama setelah pengiriman surat pernyataan sikap dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIPS kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), pimpinan dekanat memanggil sejumlah pimpinan mahasiwa di fakultas tersebut.

Melalui surat terbukanya yang ditujukan kepada Mendiknas, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), dan anggota lembaga wakil rakyat yang berkantor di Senayan tersebut, Ketua BEM FPIPS Apudin mengatakan, penetapan UPI sebagai perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (PT BHMN) terkesan elitis. Menurutnya, penetapan tersebut tidak melibatkan stake holder hingga ke tingkat mahasiswa.

Tiga pernyataan yang disampaikan BEM FPIPS meliputi: (1) Penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2004 tentang penetapan UPI sebagai PT BHMN; (2) Mencabut Surat Keputusan Mendiknas Nomor 06/MPN.A4./KP/2005 tentang pengangkatan anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UPI; (3) Menolak rektor yang akan dipilih oleh MWA UPI.

Muhtolib, salah seorang pengurus BEM FPIS mengaku, dirinya dipanggil Dekan FPIPS Prof. Dr. Suwarma Al-Muchtar, SH. M.Pd, terkait dengan isi surat yang ditandatangani Ketua BEM 24 April 2005 lalu. Kepada wartawan Muhtolid mengaku ditanya seputar pengetahuannya sebagai surat tersebut. Saat itu, Muhtolib mengaku menyetujui isi surat tersebut sebagai sikap BEM FPIPS. Dia menolak mengatakan surat tersebut merupakan pernyataan perseoarang pengurus.

Pimpinan mahasiswa lainnya yang dipanggil pimpinan dekanat adalah para ketua himpunan mahasiswa di tingkat jurusan. Mereka bukan saja ditanya seputar surat, melainkan diminta membuat surat berisi counter mengenai isi pernyataan BEM tersebut. Surat yang ditandatangani empat ketua himpunan mahasiswa di lingkungan FPIPS tersebut menyebutkan: (1) Tidak trlibat dan tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan surat pernyataan tersebut yang ditandatangani secara pribadi oleh Saudara Apudin; (2) Tidak setuju dengan isi pernyataan sikap yang dikeluarkan BEM GEMA FPIPS; dan (3) Sangat menyesal dengan pernyataan sikap tersebut yang tidak melibatkan para pimpinan Ormawa yang ada di lingkungan FPIPS UPI.

Menanggapi kemunculan surat tersebut, Apudin mengaku tidak mempermasalahkannya. Cuma saja, ia menyesalkan pernyataan para ketua himpunan mahasisa tersebut. Penyesalan yang sama muncul dari penggiat Forum Peduli Masa depan (FPMD) UPI Cecep Dharmawan, S.Pd. M.Si. Menurutnya, pernyataan berbeda antara BEM dan komponen mahasiswa lainnya tidak mesti disikapi berlebihan.

“Tidak ada hubungan struktural antara BEM Fakultas dengan BEM UPI maupun dengan himpunan mahasiswa. Hubungannya koordinasi. Saya melihat ada upaya penggiringan opini mahasiswa oleh pimpinan universitas. Padahal, sekarang bukan zamannya lagi,” tegas Cecep.

Sementara itu, saat ditemui Isola Pos di ruang kerjanya, Dekan FPIPS yang didampingi Pembantu Dekan I Drs. Aim Abdulkarim, M.Pd. mengatakan, pemanggilan mahasiswa merupakan hal biasa. Menurutnya, pemanggilan biasa dilakukan untuk melakukan koordinasi antara organisasi kemahasiswaan dengan pimpinan universitas.

“Sebagai orang tua, kita biasa memanggil mahasiswa. Apakah itu terkait dengan kegiatan, beasiswa, ataupun keperluan lainnya. Pemanggilan pengurus BEM hanya untuk klarifikasi,” tuturnya kepada Isola Pos. Isola Pos sendiri merupakan lembaga penerbitan surat kabar mahasiswa di UPI yang selama ini dikenal bersikap independen terhadap kebijakana universitas.

Wacana lain yang turut “menghangatkan” kampus di kawasan sejuk ini adalah kemunculan adanya sinyalemen kepemilikan dana abadi UPI. Sumber Radar menolak disebutkan namanya dalam pemberitaan dana abadi ini. Dia hanya menybutkan beberapa nama guru besar yang menurutnya mengetahui keberadaan dana tersebut.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 23 Mei 2005]
 

SA Saring Balon Rektor UPI

# Sejumlah Aktivis Dipanggil

SETIABUDHI-Usai digelarnya public hearing, pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memasuki tahap penyaringan oleh Senat Akademik (SA). Lembaga normatif tertinggi ini akan menciutkan tujuh bakal calon (balon) rektor menjadi 3-4 orang calon rektor. Penentuan rektor sendiri akan dilakukan oleh Majelis Wali Amanat (MWA).

Menurut Ketua SA UPI Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed. pemilihan akan dilakukan dalam sidang terbuka. Meski begitu, pengunjung tetap dibatasi. “Hari pertama pemilihan oleh SA tidak diperkenankan untuk diliput media. Barulah pada hari kedua, publik bisa menyaksikan langsung,” kata Asmawi yang juga ketua panitia pemilihan rektor UPI ini.

Merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) Pasal 23 ayat (3), pemilihan rektor dilakukan dalam suatu rapat terbuka MWA yang dipimpin oleh Ketua MWA. Ayat sebelumnya menyebutkan, MWA dapat meminta pertimbangan kepada SA terhadap bakal calon Rektor sebelum dilaksanakan pemilihan.

Kepada wartawan Asmawi memastikan, rapat penentuan calon rektor oleh MWA akan dilakukan 25-26 Mei, pekan depan. Sementara pemilihan oleh MWA, menurut Asmawi, harus menunggu kepastian dari MWA sendiri. Pasalnya, salah satu anggota MWA adalah unsur Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Karena itu, harus menyesuaikan dengan kesediaan Mendiknas.

Mengenai kemungkinan ada anggota MWA yang tidak hadir, menurut Asmawi, hal itu tidak menghalangi jalannya pemilihan. “MWA kan punya aturan main. Termasuk masalah quorum. Sampai saat ini kami belum memastikan apakah pemilihan akan dilakukan di sini atau di Jakarta,” terang Asmawi.

Sementara itu, menanggapi kekhawatiran sejumlah elemen universitas akan terjadinya “perselingkuhan” antara SA dengan calon rektor, Asmawi menjamin SA akan tetap netral. Kekhawatiran ini datang dari Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI melalui salah seorang aktivisnya, Johar Permana. Menurut Johar, anggota SA pada dasarnya dipilih oleh rektor UPI saat ini. Karena itu, rawan terjadinya “perselingkuhan”.

“Anggota SA yang menjadi panitia pemilihan tidak berarti mengugurkan haknya sebagai SA. Sebagai panitia, dia netral. Sebagai SA dia memiliki satu hak suara. Saya hanya memiliki satu hak suara. Itu pun kalau saya gunakan. Ketua SA tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan anggotanya untuk memilih calon tertentu dalam pemilihan rektor,” tegas Asmawi.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 21 Mei 2005]
 

Sepi, Public Hearing Balon Rektor UPI

*Asmawi: Panitia Tetap Netral

SETIABUDHI-Public hearing bakal calon rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang mulai berlangsung kemarin kurang diminati sivitas akademik kampus yang identik dengan Villa Isola tersebut. Balai Pertemuan UPI dan Auditorium JICA yang dijadikan tempat berlangsungnya acara tersebut tidak sampai terisi penuh. Terutama di Balai Pertemuan, pengunjung tidak sampai memenuhi setengah dari kapasitas gedung tersebut.
“Saya bergembira, acara dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Tidak ada hambatan yang mengganggu jalannya acara hari ini. Memang, audiens tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maklum, ini hari pertama. Lagi pula, kami tidak meliburkan jadwal kuliah,” kata Prof. Dr. Asmawi Zainul M.Ed., ketua pemilihan rektor UPI, kemarin.
Kepada wartawan Asmawi mengaku, pihaknya telah melakukan sosialisasi cukup maksimal. Untuk keperluan itu, panitia memasang 18 spanduk dan dua buah baligo. Selain itu, pihaknya juga telah menyebarkan undangan kepada sejumlah pimpinan lembaga untuk menghadiri public hearing.
Asmawi juga mengaku telah menghimbau kepada anggota Senat Akademik (SA) untuk menghadiri pemaparan kertas kerja balon rektor. Memang, panitia tidak mewajibkan kehadiran SA di forum tersebut. Pasalnya, setelah menyerap aspirasi dari stake holder UPI, para balon juga akan memaparkan hal yang sama di hadapan anggota SA. Lembaga normatif inilah yang kemudian akan menyaring tujuh balon rektor menjadi tiga sampai lima calon untuk diajukan kepada MWA.
Menanggapi nada miring Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI mengenai keberadaan anggota SA dalam panitia pemilihan rektor, Asmawi menagaskan, panitia akan tetap netral. Ketua SA UPI ini menolak anggapan kemungkinan terjadinya conflict of interest dalam proses pemilihan tersebut.
“Anggota SA yang menjadi panitia pemilihan tidak berarti mengugurkan haknya sebagai SA. Sebagai panitia, dia netral. Sebagai SA dia memiliki satu hak suara. Saya hanya memiliki satu hak suara. Itu pun kalau saya gunakan. Ketua SA tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan anggotanya untuk memilih calon tertentu dalam pemilihan rektor,” tegas Asmawi.
Mengani adanya pernyataan ihwal tidak demokratisnya pemilihan rektor UPI, pria yang seluruh rambutnya sudah memutih ini menjawab dengan nada tinggi. “Kalau begitu demokratis apa lagi? Seluruh rangkaian pemilihan telah dilakukan secara transparan. Kalaupun ada yang berkeinginan melalui media lain itu silahkan saja. Kami tidak mengenal adanya kampanye curi start,” lanjut Asmawi.
Saat berbicara kepada wartawan di ruang rapat gedung Program Pasca Sarjana (PPS) UPI kemarin, Asmawi menjelaskan, acara yang dilakukannya tidak bisa diartikan sebagai kampanye. UPI, kata Asmawi, bukan lembaga politik. Karena itu, public hearing merupakan medium penyerapan aspirasi, bukan kampanye. Dan, aspirasi tersebut diserap, bukan disampaikan dalam bentuk pemungutan suara.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 18 Mei 2005]
 

Hari ini, Public Hearing Balon Rektor UPI

SETIABUDHI-Salah satu tahap penting dari rangkaian pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berupa penyampaian visi dan misi para bakal calon (balon) rektor hari ini mulai digelar. Hajatan yang diberi nama public hearing ini akan dilangsungkan di dua tempat, yakni Balai Pertemuan UPI dan Auditorium JICA UPI.

Menurut keterangan panitia yang disampaikan sebelumnya, public hearing merupakan ajang para balon rektor untuk menyampaikan pemikirannya tentang UPI saat kandidat yang bersangkutan terpilih menjadi rektor. Menurut sekretaris panitia pemilihan As’ari Djohar, pihaknya akan mengundang seluruh komponen universitas untuk hadir di forum tersebut.

Kepada Radar As’ari juga menyampaikan, pihaknya sudah mendapat kepastian dari tujuh balon rektor untuk hadir saat public hearing. Mereka akan mempresentasikan kertas kerja yang memuat sekurang-kurangnya memuat empat poin.

Pertama, analisis kondisi objektif UPI-BHMN (point of departure). Kedua, tujuan yang hendak dicapai dalam jangka panjang (point of arrival). Ketiga, target lima tahun serta indikator pencapaiannya. Keempat, strategi pencapaian (organisasi dan tata pamong, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya, serta pembiayaannya).

Dalam pelaksanaannya, Amung Ma'mun, Dr. H., M.Pd., Soekmana Soma, Dr. Ir., MSP. M.Eng., dan Sunaryo Kartadinata, Prof. Dr. H., M.Pd. akan menyampaikan kertas kerjanya di Balai Pertemuan UPI. Sementara itu, Jusuf Amir Feisal, Prof. Dr. H., S.Pd., Mukhidin, Dr. H., M.Pd., Said Hamid Hasan, Prof. Dr., MA., dan Sutjipto, Prof. Dr. akan menyampaikan kertas kerjanya di Auditorium JICA.

As’ari menegaskan, pihaknya tidak akan memberikan waktu khusus kepada pimpinan organisasi mahasiswa UPI untuk mengajukan kontrak sosial kepada para balon rektor. “Itu urusan antara BEM dengan calon rektor. Acaranya harus di luar agenda panitia. Kami tidak akan memfasilitasi. Kalau seusai menyampaikan visi dan misinya dalam public hearing lalu mereka kumpul-kumpul dengan calon rektor itu silahkan saja,” kata As’ari kala itu.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 17 Mei 2005]
 

Asmawi: “Tidak Ada Kampanye Terselubung”

*BEM Tetap Pemilihan Langsung

SETIABUDHI-Ketua pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed menolak adanya anggapan telah terjadi kampanye terselubung oleh salah seorang bakal calon (balon) rektor UPI. Menurut Asmawi, mekanisme pemilihan yang ditetapkan Majelis Wali Amanat (MWA) UPI tidak mengenal adanya kampanye.

Ditemui Radar di ruang kerjanya kemarin, Asmawi menjelaskan, panitia tetap memberikan kesempatan kepada para balon untuk menyampaikan visi dan misinya sebelum menjadi rektor. Oleh panitia, forum itu disebut public hearing yang akan dilakukan 17-19 Mei, pekan depan.

Direktur Program Pasca Sarjana (PPS) UPI ini juga menolak telah trjadi permainan politik dalam pemilihan rektor UPI. “UPI bukan lembaga politik. Tetapi, lembaga akademis yang segala sesuatunya menggunakan otak. Jadi, tidak ada permainan politik atau apa pun seperti ditulis di koran-koran,” tegas Asmawi.

Menanggapi komentar sejumlah kalangan yang menganggap gagalnya Dr. Syahidin melaju sebagai calon rektor dianggap sebagai bentuk arogansi panita, Asmawi memberikan tanggapan cukup panjang. Guru besar di bidang Sejarah Islam ini menilai, keputusan panitia menggagalkan pencalonan Syahidin sebagai tindakan tepat. Pasalnya, Syahidin terganjal dua persyaratan.

Syahidin, kata Asmawi, tidak mengantongi surat keterangan kesehatan dari Majelis Pemeriksa Kesehatan yang ditunjuk panitia dan tidak menyampaikan abstraksi kertar kerjanya dalam bahasa Inggris. Dalam ketentuan panitia, hasil pemeriksaan kesehatan harus menyebutkan sejumlah item meliputi pemeriksaan fisik, thorax photo, laboratorium, EKG, tes fungsi paru, treamill test, tes dan psikometri. Sementara keterangan sehat Syahidin hanya mencantumkan berat dan tinggi badan dari Puskesmas Ledeng.

Sementara kertas kerja sekurang-kurangnya memuat empat poin. Pertama, analisis kondisi objektif UPI-BHMN (point of departure). Kedua, tujuan yang hendak dicapai dalam jangka panjang (point of arrival). Ketiga, target lima tahun serta indikator pencapaiannya. Keempat, strategi pencapaian (organisasi dan tata pamong, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya, serta pembiayaannya).

“Hingga batas waktu yang ditentukan, 27 April pukul 15:30, Pak Syahidin tidak bisa memenuhi persyaratan. Selaku panitia, kami tidak meloloskannya,” tandas Asmawi. Syahidin sendiri merupakan satu-satunya bakal calon yang dinyatakan tidak lolos oleh panitia.

Lebih jauh Asmawi berpendapat, pihaknya memaklumi perbedaan pendapat yang kerkembang di kalangan civitas akademika. Cuma saja, Asmawi menghimbau agar mereka yang kontra menyampaikan secara elegan. “Tidak ada gunanya mereka demo-demo. Sesuai dengan tema demokratis, kita akan menyelenggarakan pemilihan ini sesuai aturan,” ungkap Asmawi.

Sementara itu, Koordinator Satgas BEM UPI Rusman menegaskan kembali rencananya untuk menggelar pemilihan rektor secara langsung. Selain itu, BEM UPI tetap akan meminta calon rektor maupun rektor UPI terpilih untuk menandatangani kontrak sosial. Penandatanganan kontrak tersebut akan dilakukan usai digelarnya public hearing calon rektor, 19 Mei mendatang.

Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, kontrak tersebut memuat tujuh tuntutan yang harus dilakukan oleh rektor UPI terpilih. Yakni, memberikan kebebasan kepada pergerakan kemahasiswaan, tidak menaikkan dana SPP, dan senantiasa melibatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan. Poin lainnya, BEM UPI meminta agar rektor terpilih menekan biaya perkuliahan sekecil mungkin.

Tuntutan lainnya, rektor harus memberikan fasilitas yang layak untuk perkuliahan, menciptakan iklim kampus yang demokratis, dan menjamin adanya transparansi dalam pengelolaan keuangan. Bila di kemudian hari rektor terbukti tidak mampu memenuhi tuntutan, BEM meminta agar rektor terpilih bersedia mengundurkan diri.(cr-1/njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 14 Mei 2005]
 

UPI Abaikan Pemilu Versi Mahasiswa

# Kontrak Sosial Tidak Diagendakan

SETIABUDHI-Panitia pemilihan rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tidak akan terpengaruh dengan adanya pemilihan secara langsung yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPI. Panitia juga tidak akan mengagendakan penandatanganan kontrak sosial untuk para calon rektor.
Hal itu ditegaskan pejabat sekretaris panitia pemilihan Dr. As’ari Djohan, M.Pd saat dihubungi Radar, kemarin. As’ari mengatakan, panitia tidak akan melarang maupun memberikan izin kepada BEM untuk melaksanakan pemilihan rektor secara langsung. Pemilihan secara langsung, lanjut As’ari, tidak menjadi kepentingan langsung dari rangkaian pemilihan rektor.
“Kalau itu inisiatif BEM, silakan saja. Panitia tidak mengakomodasi hal itu. Cuma saja, jangan sampai hasil pemilihan tersebut dipaksakan. Misal, calon yang menjadi pemenang dalam pemilihan langsung harus dipilih oleh MWA (Majelis Wali Amanat, red),” tegas As’ari.
Kepada Radar As’ari mengaku, adanya kemungkinan penyelenggaraan pemilihan berupa jajak pendapat pernah mengemuka dalam pertemuan panitia. Pada dasarnya, panitia tidak akan mempermasalahkan hal itu selama hasilnya tidak dipaksakan. As’ari setuju bila acara tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya menjaring aspirasi warga universitas.
“Kami tetap mengacu kepada aturan yang telah ditetapkan. Kalau ada yang mengadakan polling, silahkan saja,” ujar As’ari.
Mengenai rencana pengajuan kontrak sosial dari BEM UPI kepada para calon, panitia menganggap hal itu diluar agenda kerjanya. Menurutnya, kontrak sosial menjadi kepentingan antara mahasiswa dengan calon rektor yang bersangkutan. Dengan demikian, pihaknya tidak akan mengagendakannya.
“Itu urusan antara BEM dengan calon rektor. Acaranya harus di luar agenda panitia. Kami tidak akan memfasilitasi. Kalau seusai menyampaikan visi dan misinya dalam public hearing lalu mereka kumpul-kumpul dengan calon rektor itu silahkan saja,” kata As’ari.
As’ari juga mengaku tidak mengetahui isi kontrak sosial yang diajukan oleh BEM UPI. Dia hanya memastikan, tujuh kandidat rektor UPI sudah menyatakan kesediaannya untuk hadir dalam public hearing yang digelar pekan depan. Ia kembali menegaskan, pihaknya tidak akan memberikan waktu khusus untuk penandatanganan kontrak sosial. Acara tersebut, kata dia, harus dilakukan setelah acara resmi ditutup.
Ditanya seputar kelanjutan terganjalnya pencalonan Dr. Syahidin, As’ari mengaku belum pernah membahasnya lebih jauh. Hingga kemarin, ketua panitia pemilihan Prof. Dr. Asmawi Zainul, M.Ed masih berada di Kalimantan. Yang bersangkutan baru akan kembali hari ini. Kemungkinan, panitia akan membahas hal itu, hari ini.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 13 Mei 2005]
 

BEM UPI Gelar Pemilihan Rektor Secara Langsung

# Minta Calon Rektor Tandatangani Kontrak Sosial

SETIABUDHI-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berencana menggelar pemilihan rektor secara langsung yang melibatkan sejumlah komponen universitas seperti mahasiswa, dosen, dan karyawan. Rencananya, pemilihan ini akan dilaksanakan selama empat hari, 20-23 Mei mendatang.
Hal itu disampaikan Ketua Departemen Sosial Politik (Depsospol) BEM UPI Rizki Aminullah, saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) UPI, kemarin. Menurutnya, pemilihan langsung tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana aspirasi civitas akademika UPI mengenai rektor pilihan mereka.
“Panjangnya waktu pemilihan langsung, karena kami menginginkan agar suara dari kampus daerah bisa terakomodasi. Jeda waktu antara Sabtu-Senin akan digunakan untuk mengumpulkan suara dari kampus yang tersebar di daerah. Setelah semua suara terkumpul akan kami serahkan kepada Senat Akademik,” terang Rizki.
Pemilihan waktu juga dimaksudkan agar suara warga universitas bisa diketahui sebelum rektor dipilih oleh Majelis Wali Amanat (MWA). Merujuk kepada jadwal pemilihan rektor UPI yang ditetapkan oleh panitia, MWA akan menentukan rektor UPI periode 2005-2010 pada 24-26 Mei mendatang. Panitia sendiri tidak memastikan apakah penetapan rektor akan dilakukan di kampus UPI atau di Jakarta.
“Karena dalam perguruan tinggi BHMN salah satu unsur MWA itu adalah unsur yang mewakili Menteri Pendidikan Nasional, maka kemungkinan pelaksanaannya menyesuaikan dengan waktu dan tempat Menteri. Untuk efisiensi, kemungkinan pemilihan dilakukan di Jakarta. Walaupun begitu, kami belum bisa memastikan,” papar Dr. As’ari Djohan, M.Pd., pejabat sekretaris panitia pemilihan rektor UPI, saat ditemui di ruang kerjanya, sehari sebelumnya.
Kepada Radar Rizki menyampaikan, selain mengadakan pemilihan langsung, BEM UPI juga akan meminta calon rektor maupun rektor UPI terpilih untuk menandatangani kontrak sosial. Penandatanganan kontrak tersebut akan dilakukan usai digelarnya public hearing calon rektor, 19 Mei mendatang.
Kontrak tersebut memuat tujuh tuntutan yang harus dilakukan oleh rektor UPI terpilih. Yakni, memberikan kebebasan kepada pergerakan kemahasiswaan, tidak menaikkan dana SPP, dan senantiasa melibatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan. Poin lainnya, BEM UPI meminta agar rektor terpilih menekan biaya perkuliahan sekecil mungkin.
Tuntutan lainnya, rektor harus memberikan fasilitas yang layak untuk perkuliahan, menciptakan iklim kampus yang demokratis, dan menjamin adanya transparansi dalam pengelolaan keuangan. Bila di kemudian hari rektor terbukti tidak mampu memenuhi tuntutan, BEM meminta agar rektor terpilih bersedia mengundurkan diri.
“Menurut kami, tuntutan yang disampaikan tidak aneh-aneh. Bila memang para calon rektor menolak untuk menandatangani, ada apa? Kalau tidak mau, berarti nilai minus. Kami juga akan menyodorkannya secara terbuka. Bahkan, kami berencana mengundang media massa,” papar Rizki.
Sementara itu, dimintai komentarnya tentang gagalnya Dr. Syahidin sebagai bakal calon rektor, Rizki mengaku pihaknya belum mengkaji secara menyeluruh. Termasuk mengenai adanya pernyataan Syahidin mengenai konspirasi di balik kegagalan pencalonannya.(njp)

Tuntutan BEM UPI untuk Rektor 2005-2010
1. Memberikan kebebasan kepada pergerakan kemahasiswaan.
2. Tidak menaikkan dana SPP.
3. Melibatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan.
4. Menekan biaya perkuliahan sekecil mungkin.
5. Memberikan fasilitas yang layak untuk perkuliahan.
6. Menciptakan iklim kampus yang demokratis.
7. Transparansi dalam pengelolaan keuangan.

Sumber : Departemen Sosial Politik BEM KM UPI

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 12 Mei 2005]
 

UPI Tolak Anggapan Tidak Demokratis

Komposisi MWA Terus Mendapat Sorotan

SETIABUDHI-Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menolak anggapan sejumlah kalangan yang mengatakan kampusnya tidak demokratis. Penolakan itu disampaikan anggota Senat Akademik (SA) UPI yang juga panitia pemilihan rektor UPI 2005-2010 Drs. Samsul Hadi Senen, MM saat ditemui Radar di ruang pemilihan rektor UPI, kemarin.
Menurut Samsul, indikator demokrasi dalam dunia politik berbeda dengan perguruan tinggi. Bila di dunia politik dikenal adanya konsep politik trias politica, tidak demikian halnya dalam dunia akademik. Demokrasi di perguruan tinggi, lanjut dia, mengacu kepada kebebasan mimbar akademik dan kebebasan intelektual.

“Trias politica mengatur adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu tidak bisa diterapkan di perguruan tinggi. Senat maupun Majelis Wali Amanat (MWA) tidak bisa disamakan dengan anggota DPR/MPR dalam politik negara,” terang Samsul.

Sebaliknya, Pembantu Dekan II Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) ini menganggap almamaternya cukup memberikan ruang bagi tumbuhnya demokrasi. Komposisi MWA yang banyak menuai protes dari mahasiswa dan elemen kritis lainnya, kata Samsul, telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dia mengaku tidak mengetahui alasan tidak dimasukkannya unsur mahasiswa dalam MWA UPI dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang penetapan UPI menjadi perguruan tinggi berstatus badan hukum.

Anggota SA lain lain siang kemarin hadir di sekretariat pemilihan, Drs. Andi Suwirta, M.Hum mengaku, sepanjang pengetahuannya, sebelum penetapan UPI menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), pimpinan UPI sempat menawarkan kepada mahasiswa untuk masuk dalam MWA. Cuma saja, Ketua BEM UPI kala itu, Triyono Suwito, tidak menindak lanjuti lebih jauh.

Sebelumnya, wacana penolakan terhadap komposisi MWA UPI muncul dari sejumlah elemen mahasiswa dan tenaga akademik. Menurut penilaian Departemen Sosial Politik BEM UPI, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2004 secara tegas melarang adanya rangkap jabatan pimpinan MWA. Sementara itu, komposisi MWA UPI saat ini mencantumkan tiga orang dekan dan beberapa pejabat struktural lainnya.

“Dalam PP Nomor 6 tahun 2004 pasal 14 ayat (1b) dijelaskan, MWA memiliki tugas mengangkat dan memberhentikan pimpinan universitas. Tetapi, komposisi MWA saat ini berisikan kroni-kroni rektor sekarang. Kami juga menganggap penjaringan wakil masyarakat dalam MWA tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel,” ujar Agus Salim, Ketua BEM UPI.

Pernyataan senada muncul dari aktivis Forum Peduli Masa Depan (FPMD) UPI Cecep Dharmawan dan Johar Permana. Ditemui Radar beberapa waktu ke belakang, keduanya menilai, sistem yang berjalan di UPI sudah kronis. Karena itu, perlu segera dilakukan perubahan secara mendasar.

“Kami menyesalkan masalah sistem, bukan orangnya. Pada dasarnya kami tidak peduli siapa rektor, yang penting sistemnya yang diperbaiki. Secara kasar, siapa pun calon rektor di UPI tidak akan jadi, kecuali mereka yang saat ini berada dalam lingkaran kekuasaan. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) sekalipun,” tegas Cecep yang diiyakan Johar.
Cecep menegaskan, pihaknya menuntut adanya pergantian kepemimpinan di almamaternya dilakukan secara demokratis. Ia menyesalkan terjadinya penyimpangan terhadap PP Nomor 6 tahun 2004 yang nota bene menjadi pijakan hukum peralihan status UPI menjadi BHMN. Pelanggaran yang dilakukan dalam menentukan komposisi MWA, kata Cecep, menunjukkan adanya praktek oligarki kekuasaan dalam tubuh universitas.

Forum yang digagas sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni UPI ini menyesalkan tidak dilibatkannya mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan di tingkat universitas. Sejumlah pertemuan yang diklaim universitas sebagai medium penyerapan aspirasi dalam pelaksanaannya hanya diisi dengan sosialisasi kebijakan itu sendiri. Hal yang sama juga dilakukan dalam persiapan peralihan UPI menjadi BHMN beberapa waktu ke belakang.(njp)

[Sebelumnya naskah ini dimuat di Harian Pagi Radar Bandung, harian lokal milik Jawa Pos Grup, pada 11 Mei 2005]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?