Wednesday, October 19, 2005

 

UPI Siap Kembangkan Pendidikan Inklusif

*Luluskan 14 Magister Pendidikan Khusus


JL SETIABUDHI-Masalah pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus rupanya cukup mendapat tempat di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Disiplin ilmu tersebut tidak hanya ditekuni pada jenjang sarjana. Melainkan, UPI berani membuka jenjang pascasarjana (S-2). Kemarin, lembaga pendidikan tinggi yang tetap mengusung kependidikan ini meluluskan 14 magister di bidang pendidikan khusus tersebut.

Program hasil kerjasama antara UPI dengan Kerajaan Norwegia ini ini sedianya meluluskan 15 orang. Namun, satu orang di antaranya masih belum menyelesaikan studinya. Menurut Rektor UPI Prof Dr Sunaryo Kartadinata MPd, 14 lulusan tersebut telah digembleng secara matang untuk menjadi ahli di bidang pendidikan untuk anak berkemampuan khusus. Sebelumnya, disiplin ilmu tersebut dikenal dengan pendidikan luar biasa (PLB).

“Di Indonesia terdapat sekitar 4-5 persen anak yang memiliki kemampuan khusus. Tentu, penanganan mereka berbeda dengan anak normal. Karena itu, perlu mendapatkan pendekatan khusus. Dengan begitu, diperlukan pula kesiapan guru untuk mengajar pada kelas-kelas inklusif. Kelas yang memperhitungkan kemampuan semua anak, termasuk anak tidak normal di dalamnya,” jelas Sunaryo.

Guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan ini mengungkapkan rencana universitas yang dipimpinnya untuk menyiapkan fasilitas pendukung anak-anak berkemampuan khusus di kampus UPI. Rencana ini seiring dengan rencana besar-besaran pembangunan fisik kampus UPI. Sunaryo berharap UPI mampu menjadi pelopor bagi kemudahan akses bagi anak-anak luar biasa.

Lebih dari itu, UPI juga berencana membangun laboratorium pendidikan khusus yang akan ditempatkan di UPP Cibiru. Secara kurikulum, Sunaryo mengaku tengah mennggodok dimasukkannya ortopedagogi dalam kelompok mata kuliah dasar kependidikan (MKDK). Artinya, seluruh mahasiswa UPI kependidikan akan mendapatkan bekal mengenai penanganan anak yang memiliki kemampuan khusus.

“Saat ini belum dimasukkan dalam kurikulum. Tapi, kami tengah merencanakan hal itu. Terlebih setelah kami mendapat kepercayaan dari Kerajaan Norwegia untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif pada level magister. Di Indonesia, UPI satu-satunya universitas yang menyelenggarakan pendidikan inklusif pada level S-2,” terang Sunaryo seraya menambahkan bahwa pihaknya melakukan pertukaran tenaga pengajar dengan Department of Special Needs Education University of Oslo.

Di bagian lain, Sunaryo juga menjelaskan, UPI saat ini terus mengembangkan kemitraan dengan dunia industri. Tujuannya, agar lulusan Bumi Siliwangi tersebut benar-benar memiliki kemampuan untuk bersaing di masyarakat. Mantan pembantu rektor era kepemimpinan Prof Dr Mohammad Fakry Gaffar ini menepis anggapan bahwa selama ini lulusan UPI selalu berkutat pada tenaga kependidikan di satuan pendidikan milik pemerintah.

“Sejak beberapa tahun terakhir kami membuka pendidikan nonkependidikan. Jadi, menghasilkan sarjana kependidikan, kami juga menghasilkan sarjana-sarjana sains yang siap terjun di bidang non kependidikan. Saat ini, lulusan UPI banyak terserat di lembaga-lembaga diklat (pendidikan dan pelatihan, red) dan dunia industri. Jadi, tidak melulu menjadi guru. Meskipun demikian, mayoritas lulusan UPI memang menjadi guru,” terang Sunaryo saat ditemui wisuda gelombang kedua di Gymnasium UPI, kemarin.

Kepada wartawan, Sunaryo juga mengungapkan, saat ini UPI tengah mengembangkan program student employment. Yakni pola kerjasama antara UPI dengan kalangan industri dalam bentuk pemagangan. Sayangnya, Sunaryo tidak merinci lebih jauh mengenai prohram tersebut. Termasuk jurusan mana saja dan pada tingat berapa mahasiswa UPI melakukan hal itu.

“Kami berharap bisa dilakukan untuk semua jurusan. Dalm hal ini, mahasiswa bisa mengambil cuti untuk bekerja di sebuah perusahaan terlebih dahulu misalnya. Ya, saat ini hal itu belum dituangkan ke dalam kurikulum. Meski begitu, beberapa jurusan sudah mulai berjalan,” papar Sunaryo.(njp)


DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Aktivis Pendidikan Tolak RUU Guru dan Dosen

JL GANECA-Sejumlah aktivis pendidikan menolak disahkannya rancangan undang undang (RUU) guru dan dosen yang disetujui DPR RI 27 September lalu. Mereka menilai, RUU tersebut tidak menjawab permasalahan tenaga kependidikan secara menyeluruh. Lebih dari itu, rancangan tersebut hanya mencerminkan kepentingan salah satu kelompok semata.

Wacana penolakan itu mengemuka dalam sebuah diskusi terbuka yang digelar Forum Diskusi Pendidikan Bandung di GSG Salman ITB, Jalan Ganeca, kemarin. Diskusi yang dihadiri sejumlah praktisi pendidikan ini menilai RUU yang diusung Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu terlalu tergesa-gesa. Akibatnya, RUU banyak bertentangan dengan regulasi pendidikan lainnya.

Secara substansi, pemberian gaji guru sebanyak tiga kali lipat dibandingkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dianggap tidak adil. Terutama bila melihat performance guru yang tidak merata. Secara prinsip, mereka sepakat manakala profesionalisme guru dihargai secara proporsional. Namun, profesionalisme tidak serta merta bisa diwujudkan dengan kenaikkan gaji.

Bila RUU tersebut tetap diundangkan akhir bulan depan, para penggiat pendidikan ini khawatir akan terjadinya gejolak sosial. Ini menyangkut perbedaan yang cukup mencolok antara gaji guru dengan PNS lainnya. Mengacu pada RUU tersebut, guru berhak mendapat gaji tiga kali lipat dibandingkan dengan gaji PNS lainnya. Akibatnya, undang-undang ini berpotensi melahirkan kecemburuan bagi PNS nonguru.

“Banyangkan oleh anda. Gaji guru akan lebih besar dari gaji Kepala Dinas Pendidikan misalnya. Bagaimana jadinya? Jelas, di sini terjadi ketimpangan. Saya memprakirakan akan terjadi migrasi besar-besaran di antara PNS untuk beralih profesi menjadi guru. Lalu, dari mana pemerintah menyediakan anggaran gaji guru sebanyak itu?,” ujar Eko Purwono, aktivis Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (MP2I), saat ditemui Radar usai diskusi.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengaku tidak bisa membayangkan bila kemudian muncul gejolak yang timbul dari kalangan guru sendiri. Pemicunya, guru meminta gaji sesuai undang-undang, sementara pemerintah tidak sanggup menyediakannya. Eko mencontohkan, pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung tidak lebih dari Rp 1 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 persen di antaranya merupakan gaji guru.

“Kalau gaji guru dinaikkan menjadi tiga kali lipat, bagaimana pemerintah kota mengurus masalah sampah, kependudukan, transportasi, dan sektor publik lainnya. Pokoknya, kami melihat masih banyak terdapat kekurangan dari RUU tersebut. Karena itu, kami mendesak agar RUU tersebut ditunda,” tandas Eko.

Di bagian lain, Eko juga menilai, RUU tersebut terbilang ketinggalan dibandingkan dengan perundangan terbaru. Dia mencontohkan, RUU tersebut tidak mencantumkan adanya guru bantu dan guru sukarelawan misalnya. Padahal, UU Sikdiknas yang telah diterbitkan sebelumnya mengemukakan hal itu.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

Tuesday, October 18, 2005

 

Emil pun Lega Bisa Berjilbab

*UPI Sempat Meminta Mahasiswa Pendekkan Jilbab


BANDUNG-Mahasiswa Program Studi Resort and Leisure Management dan Catering Industry Management Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) akhirnya bisa bernapas lega. Tata tertib berpakaian yang mengharuskan mengenakan jilbab modis dari pimpinan fakultas pun kini tidak berlaku lagi. Melunaknya sikap pimpinan fakultas tersebut setelah ratusan mahasiswa menggelar unjuk rasa di kampus yang memiliki motto ilmiah, edukatif, dan religius itu, kemarin siang.

Dalam aksinya mereka mengecam aturan yang dianggapnya melanggar prinsip tersebut. Sekitar pukul 09:00, pengunjuk rasa yang didominasi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UPI ini mulai mengitari kampus di Jalan Dr Setiabudhi ini. Di antara pengunjuk rasa terdapat enam orang mahasiswa baru program kepariwisataan tersebut.

Unjuk rasa baru berhenti setelah perwakilan mereka diterima pimpinan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS). Pertemuan yang dimpimpin langsung Dekan FPIPS Prof Dr Suwarma Al Muchtar SH MPd sepakat mengubah redaksi tata tertib bagi dua program studi yang baru dibuka tahun ini tersebut. Dari salinan yang diperoleh Radar di UPI kemarin, tata tertib yang memicu protes mahasiswa itu antara lain poin keempat tentang pakaian mahasiswi.

Tata tertib yang ditandatangani Dekan dan Ketua Program Dr Sumartini MP ini berbunyi, “Bagi yang berjilbab, harus menggunakan model yang modis dan tidak menjulur menutupi atribut yang dikenakan.” Atribut sebagaimana dimaksudkan poin tersebut terdapat pada poin sebelumnya, yakni dasi bermotif yang memiliki warna dasar biru dengan tie pin berlogo UPI dan papan nama.

Emil Latifah, seorang mahasiswa baru program studi Studi Resort and Leisure Management mengaku sempat kaget saat pertama kali mengetahui adanya tata tertib tersebut. Aturan tersebut pertama kali disosialisasikan pihak UPI pada hari terakhir pelaksanaan pengenalan mahasiswa baru, Kamis (31/8). Saat itu, UPI meminta agar mahasiswa baru mengembalikan lembar kesediaan sehari kemudian dengan dilengkapi materai.

“Saya kaget. Wah ini tidak bisa dibiarkan. Sudah melanggar prinsip. Masa orang mau berjilbab saja dihalang-halangi. Atas alasan itu saya tidak mau menandatangani. Kemudian, saya mengadu kepada pimpinan mahasiswa fakultas (BEM FPIPS, red). Saya juga sempat menyampaikan keberatan saya kepada pihak program studi. Kemudian, nama-nama yang keberatan tersebut dicatat. Jumlahnya empat orang. Sekarang (kemarin, red) ada enam orang yang keberatan dengan aturan tersebut,” papar Emil menggebu-gebu.

Ditemui usai berlangsungnya unjuk rasa di gedung PKM UPI, Emil tak mampu menyembunyikan kegembiraannya saat mengetahui kesepakatan BEM dengan pimpinan fakultas. “Saya lega mendengar kesepakatan itu. Dengan begitu, tidak halangan lagi untuk mengenakan jilbab secara utuh,” ujarnya sambil menebar senyum.

Kegembiraan juga tampak dari wajah koordinator aksi kemarin, Yusuf Supriatna. Aktivis KAMMI yang juga mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah ini sempat mengkhawatirkan pimpinan UPI akan bersikukuh menerapkan tata tertib itu. “Ya, alhamdulillah mereka mau berubah,” ujarnya sambil pamit karena akan melanjutkan koordinasi dengan timnya.

Ditemui di ruang kerjanya, Pembantu Dekan I FPIPS Drs Aim Abdulkarim MPd membenarkan pihaknya sempat membuat tata tertib yang mengharuskan adanya penyesuaian jilbab di dua program baru tersebut. Bagi Aim, peraturan tersebut semula dimaksudkan untuk membiasakan mahasiswanya dalam kondisi dan suasana kerja.

“Saya kira tidak melanggar substansi. Kami kan tidak mengharusnya mahasiswa membuka jilbab. Kami hanya meminta agar mereka terbiasa dengan suasana disiplin. Di perguruan tinggi lain juga memiliki peraturan pakaian sendiri. Itu biasa. Meski begitu, kami terbuka kalau ada yang keberatan. Kan semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kami bersedia untuk mengubah tata tertib,” kata Aim.

Kepada wartawan, mantan pimpinan mahasiswa semasa kuliahnya itu menjamin tidak akan memperlakukan mahasiswa baru yang menolak mengenakan jilbab modis tersebut secara diskriminatif. “Nggak, nggak akan ada perbedaan. Semuanya sama saja,” katanya hati-hati.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Sekolah Gratis Perlu Keterlibatan Semua Kalangan

Darmaningtyas: Kembangkan Pajak Progresif


GANESHA-Konsep sekolah gratis memerlukan keterlibatan banyak kalangan. Di tingkat pusat, kebijakan ini harus melibatkan Departemen Keuangan dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Tanpa adanya koordinasi, kebijakan tersebut tetap membuka peluang terjadinya kondisi seperti sekarang.

Demikian pendapat ahli pendidikan Darmaningtyas saat menyampaikan pendapatnya dalam diskusi terbatas di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (11/6). Pakar yang pemikirannya kerap muncul dalam sejumlah harian nasional ini mengatakan, pembiayaan sekolah gratis bisa dilakukan dengan memberlakukan pajak progresif.

“Konsep sekolah gratis harus dijelaskan kepada masyarakat. Apakah gratis SPP atau gratis seluruh pembiayaan. Upaya pembiayaan bisa dilakukan melalui pajak progresif. Masyarakat kaya membayar pajak lebih besar. Begitu pula sebaliknya,” papar Darmaningtyas seraya menambahkan, saat ini pajak tidak dikelola secara transparan.

Penulis buku “Pendidikan pada dan setelah Krisis” ini memprakirakan, wajib pajak di tanah air berkisar 10 juta subyek. Karena tidak transparan, masyarakat kita mengetahui berapa jumlah penerimaan dan jumlah yang didistribusikan kepada masyarakat. Di sinilah diperlukan koordinasi antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan Direktorat Jenderal Perpajakan (Dirjen Pajak).

Ia menolak terjadinya kekhawatiran munculnya ketidakadilan manakala masyarakat kaya turut mendapat pendidikan gratis. Meski kalangan masyarakat kaya bersekolah gratis namun ia telah membayar pajak lebih besar warga miskin.

Selain itu, konsep pendidikan gratis juga harus masuk dalam rencana strategis (Renstra) pendidikan nasional. Selama ini, kata dia, Depdiknas selalu berpatokan kepada renstra. Tanpa termuatnya dalam renstra, jangan berharap konsep itu bisa direalisasikan oleh pemerintah.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

PLS Perlu Sertifikasi

SETIABUDHI-Sertifikasi dan pemberian lisensi selama ini masih diyakini sebagai salah satu bentuk menumbuhkan profesionalitas. Untuk membuktikan profesonalismenya, Pendidilan Luar Sekolah (PLS) juga tidak boleh mengabaikan hal itu. Begitu kata Sugito, seorang pemikir pendidikan asal Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam semiloka nasional “Arah Baru Pengembangan Pendidikan” di Kampus Bumi Siliwangi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), baru-baru ini.

Dalam presentasinya, Sugito menilai, perkembangan terakhir lulusan pendidikan menunjukkan adanya penurunan kualitas. Salah satu penyebabnya, kata Sugito, karena rendahnya kualitas pendidik. “Guru masih belum menunjukkan performensi kompetensi yang memadai,” kata Sugito.

Terkait dengan PLS, Sugito menilai keberadaan pendidik sebagai sesuatu yang unik. Pasalnya, pendidik dalam PLS memiliki keberagaman aktivitas pendidikan. Sugito juga menegaskan adanya perbedaan antara pendidik dalam PLS dengan tenaga pendidik di sekolah. Ia menyayangkan tidak diaturnya pendidik PLS ini dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak mengaturnya.

“Sampai saat ini belum ada rumusan dan pemetaan yang jelas tentang pendidik luar sekolah. Kita hanya mengenal tutor, instruktur, pamong belajar, dan widyaiswara. Dengan rentangan yang cukup luas, tidak mungkin menggolongkan seluruh tenaga pendidik luar sekolah ke dalam satu jenis. Diperlukan pemetaan secara cermat, komprehensif, serta melibatkan seluruh stake holder pendidikan luar sekolah,” tegas Sugito.

Kekurangjelasan status pendidik PLS, kata dia, mengindikasikan masih termarjinalkannya profesi tersebut dalam dunia pendidikan di Indonesia. Baik masyarakat maupun praktisi pendidikan dianggap Sugito masih kurang memberikan perhatian kepada PLS. Padahal, dalam dunia pendidikan dikenal adanya dikotomi peran pendidik, yakni jeneralis dan spesialis. Nah, PLS merupakan salah satu bentuk peran spesialis.

Mengingat beragamnya pendidik luar sekolah, Sugito memperkirakan akan timbulnya beberapa kendala terkait dengan setifikasi dan lisensi profesi. Beberapa hal yang dianggapnya menjadi penyebab sulitnya pengembangan profesionalitas diantaranya, pertama, kesulitan menentukan jenis kemampuan yang harus dimiliki pendidik luar sekolah. Kedua, kemungkinan munculnya pro kontra tentang perlunya proses lisensi dan sertifikasi itu sendiri.

Pemberian lisensi, terang Sugito, dipandang menyimpang dari hakikat tujuan pendidikan luar sekolah. Bukan tidak mungkin, pemberian lisensi dipandang sebagai bentuk kapitalisasi pendidikan luar sekolah. Sementara terkait dengan tenaga pendidik, keberagaman PLS menuntut keseimbangan dengan kemampuan pendidik.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Butuh Rp 1,5 Miliar untuk Bayar Guru Bantu

*Disdik Bingung

IR. H. DJUANDA-Dunia pendidikan di Bandung Metropolis seakan tidak pernah lepas dari masalah. Belum juga gonjang-ganjing seputar masalah ujian nasional (UN) tuntas, masalah guru bantu muncul ke permukaan. Masalah juga tidak ringan. Yakni terlambatnya pembayaran gaji guru bantu sebanyak 1653 orang.

“Gaji guru bantu sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kami akan terus melakukan koordinasi dengan pusat. Meski begitu, kami akan mengupayakan dengan dana dari pemerintah kota,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Edi Siswadi saat ditemui wartawan usai menghadiri konferensi pers di Holiday Inn Hotel, kemarin.

Jumlah guru bantu di lingkungan unit kerja Disdik Kota Bandung sebanyak 1653 orang. Jumlah ini hasil pemutakhiran dengan memperhitungkan kepindahan, perubahan status kepegawaian dari guru bantu menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Semula, guru Bantu di Bandung Metropolis mencapai 1750 orang.

Total biaya yang diperlukan untuk membayar gaji guru bantu selama setahun hampir Rp 1 triliun. Namun, karena yang terlambat tersebut hanya pembayaran untuk dua bulan terakhir, maka dana yang diperlukan sekitar Rp 1,5 miliar, tepatnya Rp 1.520.760.000,00. Angka ini muncul hasil perhitungan pemutakhiran data dikalikan dengan jumlah besarnya gaji dan keterlambatan gaji selama dua bulan.

Edi mengaku belum mendapat kepastian kapan dana tersebut akan disampaikan kepada guru bantu. Pasalnya, hingga saat ini Edi masih belum mendapat kepastian sumber dana dan jumlah yang bisa digunakan sebagai dana talangan.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.
 

Korupsi di Sekolah Sulit Diberantas

KIDANG PANANJUNG-Masalah korupsi seakan menjadi penyakit dalam mentalitas orang Indonesia. Begitu salah satu simpulan diskusi tentang korupsi dalam dunia pendidikan yang digagas Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung di sekretariat BIGS, Jalan Kidang Pananjung 5A, beberapa waktu ke belakang.

Diskusi yang dihadiri sejumlah aktivis pendidikan ini juga mengungkap beberapa bentuk korupsi yang terjadi di persekolahan. Yakni, pungutan-pungutan tidak sah, pungutan sah tetapi tidak melalui mekanisme yang sah, korupsi yang dilakukan oleh oknum sekolah, dan bentuk penyuapan yang dilakukan masyarakat.

Pungutan tidak sah sendiri mencakup tiga hal. Modusnya berupa pungutan yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua siswa, pungutan yang ”disetujui” orang tua siswa tetapi melalu mekanisme kesepakatan yang tidak sah, dan adanya pungutan yang disetujui oleh orang tua dan melalui mekanisme yang sah tetapi bertentangan dengan peraturan pemerintah.

Modus kedua, korupsi yang dilakukan oleh oknum sekolah mencakup penggelapan uang negara dan dana masyarakat, pemalsuan bukti-bukti pembelian barang, dan penyuapan atasan. Penyapan biasa dilakukan untuk memuluskan proyek atau dana bantuan pendidikan. Ada juga penyuapan untuk memperoleh jabatan atau posisi yang lebih tinggi.

Nah, modus yang dilakukan orang tua dimaksukdan untuk biasanya dilakukan bekerjasama dengan oknum kepala sekolah, guru, tata usaha atau pengurus komite sekolah. “Mereka berupaya mamasukan anaknya dengan kriteria yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ada juga yang menginginkan nilai yang tinggi dalam buku rapor dan ijazah. Selain itu, suap dilakukan untuk mendapatkan proyek kerjasama memasukan barang atau kegiatan dengan sekolah.

Di sisi lain, penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan setidaknya lima hal yang melatar belakangi terjadinya korupsi di sekolah. Pertama, otoritas kepala sekolah yang terlalu besar. Otoritas ini kerap disalahgunakan oleh oknum kepala sekolah untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).

Kedua, korupsi juga dirorong lemahnya intstitusi pengawasan baik dari pengawas fungsional maupun dari pihak komite sekolah. Dengan begitu, terdapat peluang leluasa untuk menggunakan dana publik dan subsidi dari pemerintah. Bahkan, adanya bantuan luar negeri yang tidak terkontrol.

Ketiga, lemahnya sistem demokrasi di sekolah. Partisipasi guru dan masyarakat dalam berbagai kebijakan pendidikan di sekolah sangat terbatas. Keempat, minimnya fasilitas pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah. Sehingga, untuk keperluan operasional, sekolah lebih banyak membebankankan kepada masyarakat.
Hasil penelitian ICW menunjukkan, hanya 10 persen subsidi pemerintah untuk pelaksanaan operasional sekolah. Selebihnya dibebankan kepada masyarakat. Dan kelima, rendahnya kesejahteraan guru. Hal ini memunculkan sejumlah oknum guru yang menjadikan anak didiknya sebagai obyek untuk peningkatan kesejahteraannya.(njp)

DISCLAIMER

Hak cipta dari isi, berita dan materi di situs ini adalah milik dari sumber yang bersangkutan.
Saya sama sekali tidak berniat untuk melakukan pembajakan dari sumber manapun.
Jika ada yang berkeberatan dengan pemuatan isi, berita ataupun artikel yang ada di web saya, silakan anda hubugi saya dan saya tidak akan keberatan untuk menurunkan isi materi tersebut.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?